Kreak merupakan gabungan dari 2 kata dalam Bahasa Jawa, yaitu kere dan mayak. Kere berarti miskin, dan mayak berarti banyak tingkah. Awalnya, istilah kreak hanya digunakan untuk mengategorikan orang-orang yang norak secara fashion tapi ingin terlihat keren di depan publik. Tapi, entah mengapa, sekarang definisinya bergeser menjadi sebutan untuk para anomali yang meresahkan masyarakat sekitar.
Lantas, apa sebenarnya kreak itu, bagaimana cara kerja mereka, dan kenapa mereka melakukannya?
Dewasa ini, kreak lebih sering disama-artikan dengan klitih, gangster, dan lain sebagainya. Mereka adalah sekumpulan manusia-manusia yang minim pendidikan dan memiliki ego setinggi langit yang kerjaannya hanya sekadar tawuran, membuat kerusuhan, dan yang terbaru, melakukan penyerangan kepada orang-orang secara acak di suatu tempat/wilayah tertentu.
Aku pribadi merasa bahwa, sepertinya, eksistensi dari perkumpulan pemuda caper ini eksis di setiap kabupaten/kota di Indonesia. Ini bisa terjadi karena pada dasarnya, mereka hanyalah sekumpulan anak muda yang haus akan validasi dan perhatian dari orang lain. Tapi, karena tidak adanya orang 'baik' yang sudi untuk membimbing dan mengarahkan mereka dalam mencapai apa yang mereka tuju melalui jalan yang baik dan benar, akhirnya para influencer yang tidak bertanggung jawab menjadi role model pilihan mereka.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya anak muda bermasalah yang menjadikan sesosok "Katak Bhizer" sebagai idola mereka. Kebanyakan dari mereka merasa terinspirasi dan termotivasi oleh cerita idolanya itu yang berhasil menjatuhkan puluhan orang seorang diri. Mereka menganggap bahwa mengalahkan banyak orang dalam perkelahian merupakan sebuah hal yang keren. Padahal, jikalau kita mau menggunakan otak kita sedikit sahaja, seharusnya kita merasa aneh ketika mendengar sebuah cerita yang "too good to be true" seperti itu.
Dampaknya, yang membuatku merasa benar-benar terganggu, adalah meningkatnya aktivitas meresahkan dan membahayakan dari para kreak ini di Kota Semarang dan sekitarnya. Fenomena ANOMALI ini diawali dengan tewasnya seorang mahasiswa tak bersalah dalam kasus pembacokan oleh orang yang tidak korban kenal yang terjadi di sekitar Taman Sampangan, Semarang. Lalu, teror dari para kreak ini semakin merajalela di daerah sekitar kampus UNNES dan UNDIP sebelum akhirnya menyebar sampai ke hampir seluruh penjuru kota. Bahkan, karena hal ini, banyak sekolah yang sampai-harus merilis peringatan kepada para wali murid untuk memastikan anak perwaliannya sudah berada di rumah sebelum pukul 9 malam.
Tentu sahaja, fenomena anomali ini menimbulkan banyak sekali pertanyaan tentang kenapa dan apa sahaja yang mendasari hal ini bisa terjadi?
Jikalau menilik dari sosial media, tidak sedikit orang yang menyangkut-pautkan fenomena ini sebagai akibat dari meningkatnya degradasi moral para pemuda di Indonesia. Menurut Datu Jatmiko dalam paper Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum nya, kenakalan remaja yang bersifat psikotis, ekstrem, dan melanggar hukum bisa terjadi karena intelektualitas para remaja tersebut tidak berfungsi sehingga terjadi pembekuan moral yang kronis.
Selain itu, berdasarkan acuan dari buku yang ditulis oleh Thomas Lickona dengan judul "Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility", disebutkan bahwa ciri-ciri dari degradasi moral pada sekelompok orang adalah dengan mereka melakukan tindak kriminal, tidak sportif dalam perbuatan, pencurian, melanggar aturan, tawuran antar siswa, tidak menghargai orang lain, sikap perusakan diri, keinginan seksual diluar nikah, penggunaan bahasa kotor, dan pemakaian obat terlarang/narkoba.
Seharusnya, dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa gagalnya sistem pendidikan dalam mengolah intelektualitas para siswa, baik dalam hal pelajaran, adab, etika, maupun empati yang melibatkan proses "emotional control", menjadi salah satu penyebab utama akan mengapa fenomena anomali ini terjadi.