Di era digital ini, banyak jenis pekerjaan baru yang muncul dan menjadi pekerjaan impian bagi anak muda, entah karena terdapat kemudahan dalam melamar, mengerjakan, atau mendapatkan kemapanan ekonomi (Kurniawan & Aruan, 2021).
Salah satunya adalah pekerjaan estetika (aesthetic labour) yang menjadikan penampilan pekerja sebagai sebuah komoditas yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan sekaligus menarik minat pasar sehingga diharapkan akan terjadi proses jual beli setelahnya (Katircioglu & Akgun Tekin, 2021).
Sementara itu, sebagaimana yang telah diketahui bersama, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era ini juga senantiasa diimbangi dengan adaptasi yang ‘gila-gilaan’ dari segala sektor kehidupan.
Namun, hal ini nyatanya berbanding terbalik dengan kualitas manusia yang ada, yang mana terjadi degradasi mental dan etika secara besar-besaran seiring waktu berjalan (Irmawati Musa, 2023). Sebagai contoh, profesi yang berkutat sebagai seorang pembuat konten yang berbau pornografi semakin meningkat akhir-akhir ini (Sanders et al., 2018).
Lantas, apa hubungannya dan apa masalahnya?
Titik berat dari hal tersebut adalah ketika terjadi sebuah kesalahpahaman yang mengakibatkan penyalahgunaan konten pornografi yang melibatkan sisi estetika dari seorang laki-laki ataupun perempuan untuk dikomersialisasi dan dimotenisasi secara digital (Cunningham et al., 2018).
Padahal, aesthetic labor harusnya hanya digunakan sebagai sebuah sarana yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan nilai jual dari suatu produk atau jasa yang ditawarkan, bukan malah dijadikan sebagai produk itu sendiri.
Saat ini, media sosial sudah selayaknya kebutuhan primer yang harus dimiliki oleh setiap orang di dunia. Bersamaan dengan itu, hadir sebuah konsep yang disebut “industri hiburan media sosial” yang mendorong khalayak untuk berbisnis dengan menggunakan konten sebagai media informasi dan pemasaran melalui platform-platform media sosial (Cunningham & Craig, 2019).
Hal inilah yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menjadikan media sosial sebagai sebuah wadah penyaluran konten seksual mereka yang setelah mengunggahnya, mereka akan menjual konten mereka, baik yang berbentuk audio, visual, maupun audio visual (Simpson & Smith, 2019).
Dengan demikian, wajar rasanya jikalau menyebut para pembuat konten seksual ini sebagai pekerja seks digital (PSD) yang menjajakan sisi seksual-estetika dari dirinya sendiri kepada banyak orang dengan menjadikan media sosial sebagai sebuah perantara dalam prosesnya.
Penyalahgunaan dalam bermedia sosial inilah yang bermasalah karena memiliki efek berantai yang cukup meresahkan masyarakat, yakni semakin tingginya tingkat pelecehan seksual terhadap perempuan karena paham “wanita adalah objek seksualitas pria” yang semakin menjamur di masyarakat (Muttamimah, 2022).