Mohon tunggu...
Amir Hamzah
Amir Hamzah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

amirhamzahtwinsboy.blogspot.com. Hanya orang kampung, penggembala kambing, suka main di sawah, dan penyuka anak kecil..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yuk Bercermin Dulu!

24 Juni 2015   11:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:10 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wahai tubuh, seperti apakah isi gerangan hatimu?

Apakah isi hatimu sebagus kata-katamu, atau sebagus daki yang melekat ditubuhmu?

Apakah hatimu seindah penampilanmu atau sebusuk kotoranmu?

(disadur dari catatan seorang sahabat)

Benda yang satu ini sangat familiar, sering dijual di toko bangunan, bahkan di pinggir jalan. Tetapi sadar atau pun tidak, benda ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Bayangkan, bagaimana rasanya jika hidup ini tidak ada cermin, tentu kita tidak akan pernah tahu akan rupa diri kita sendiri. Bahkan bagi sebagian perempuan, keberadaan cermin itu tidak bisa lepas dalam aktivitas keseharian, kemana-mana biasanya cermin itu selalu dibawa.

Misalnya saja, untuk membetulkan kerudung yang kurang pas, mereka (perempuan) tak segan untuk izin ke kamar kecil. Padahal tujuannya cukup simple, ya hanya untuk membetulkan kerudungnya. Tanpa ada bantuan cermin rasanya terkesan ribet. Bagi sebagian wanita yang senang dandan tentu cermin kecil selalu menemani kemana pun mereka pergi.

Ketika make-upnya dirasa sudah luntur, alisnya mulai tipis, lurus dan lain-lain, tak segan mereka mengeluarkan cermin kecil dari dalam tas mungilnya. Sebetulnya, tak jauh berbeda juga dengan laki-laki yang senang dengan fashion. Hanya saja laki-laki biasanya cukup bercermin di rumah, atau malah lebih berani, apapun yang bisa memantul bisa dijadikan cermin.

Inilah fenomena kecil yang sering kita jumpai, yang begitu penting dalam kehidupan sehari-hari dan tak bisa dipisahkan dari hidup kita. Apa jadinya jika hidup ini tidak ada cermin, tentu rasanya ada sesuatu yang hilang. Penulis sempat merasakan pengalaman yang luar biasa dan tidak mengenakkan.

Salah seorang teman pernah mengalami hal ini. Kala itu selama sepuluh hari Ia ditugaskan untuk menjalankan salah satu program dari kantornya. Ia ditempatkan di desa terpencil dan di puncak sebuah bukit yang diapit oleh dua gunung menjulang ke langit. Karena berada di atas ketinggian, rasa dingin adalah santapan setiap hari, tak peduli siang maupun malam hari.

Karena mengalami kondisi alam yang berbeda, banyak sekali perjuangan yang harus dihadapi. Harus terbiasa dengan cuaca dingin, jarang mandi (sehari cukup satu kali, itu pun mandinya dilakukan pada siang hari). Perjuangan yang lain yaitu tidak menemukan cermin, hanya ingin sekedar melihat wajah atau melihat keadaan rambut. Maklum karena akses ke kota lumayan jauh dan jalannya yang rawan.

Ada rasa rindu dan kangen dengan wajah. Bagaimana bentuk dan perubahan, apa saja yang sudah terjadi selama ini. Rasa keingintahuan  itu luar biasa muncul. Alangkah kaget bukan kepalang ketika ia bercermin, ternyata wajahnya mengelupas seperti kulit ular, ada sisik-sisiknya juga. Setelah dicek, ternyata hanya faktor air dan iklim saja, sehingga menyebabkan wajahnya demikian.

Cermin Diri

Itulah pentingnya cermin. Selain untuk mengetahui perubahan dan perkembangan yang ada pada manusia. Cermin juga sering digunakan untuk aktivitas lain, dan pekerjaan itu sangat simple. Merias wajah misalnya, dan ini kebiasaan perempuan. Kalau laki-laki paling mencukur kumis, dan janggut. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw agar selalu merawat diri, salah satunya ilah mencukur rambut, kumis dan lain-lain.

Jika pekerjaan yang satu ini tidak dibantu dengan cermin, tentu harus menggunakan jasa orang lain. Bayangkan jika pengerjaan yang sederhana ini harus dilakukan oleh dua orang saja, terkesan ribet bukan? Dengan adanya cermin, pengerjaannya bisa lebih mudah dan ringan, karena tidak perlu dilakukan dengan banyak orang.

Makna bercermin yang dimaksud adalah cermin yang bermakna  hakiki (hakikat), yaitu cermin yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun bercermin yang bermakna majazi (majas) adalah cermin diri. Cermin ini sering diartikan sebagai introspeksi diri (bercermin ke diri sendiri, setelah melihat/membandingkan ke orang lain yang lebih baik).

Tujuannya ialah membandingkan diri dengan orang lain, apakah yang kita lakukan itu sudah seperti mereka ataukah belum (dalam hal ini terkait kebaikan). Sehingga dengan adanya cermin diri ini, memacu seseorang untuk menjadi lebih baik lagi. Sebagaimana perintah Rasulullah untuk memiliki prinsip, “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin…

Cermin adalah benda yang paling jujur sedunia. Apa yang ada didepannya ditampilkan secara utuh. Tidak ada manipulasi, atau disembunyikan darinya. Dan yang paling penting adalah, cermin tidak pernah sekalipun memberikan komentar tentang apa yang didepannya. Keistimewaan inilah yang dimiliki oleh sebuah cermin. Apa jadinya jika cermin itu bisa berbicara dan mampu memberikan penilaian bagi siapapun yang ada di depannya?. 

Bercerminlah !

Bercermin’ ini tentunya harus kita tanamkan dalam diri. Sebab tanpa cermin inilah kita tidak mungkin bisa membandingkan semuanya. Bahkan kita bisa dibuat lupa untuk bercermin, sehingga melahirkan pribadi-pribadi yang sombong, angkuh, congkak dan lupa diri. Inilah sebabnya kebiasaan bercermin harus kita galakan.

Bercermin tidak asal bercermin, tetapi harus betul-betul kepada orang yang baik. Sebab jika bercermin kepada orang yang salah bisa menyebabkan salah jalan. Misalnya seorang tetangga yang selalu bercermin kepada tetangganya yang hidup mewah, sedangkan penghasilannya pas-pasan.

Kalau hal ini dipaksakan bisa merusak dirinya sendiri dan akhirnya menimbulkan masalah yang luar biasa dalam dirinya. Untuk itu, bercermin itu harus bisa menempatkan diri, kepada siapa dan kapan. Dalam hal kebaikan tentu kita sangat dianjurkan untuk iri, tetapi dalam hal keduniaan agama pun melarangnya dengan keras.

Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu; Siapa yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal siapa tuhannya. Ini adalah salah satu cermin diri yang baik. Mengetahui dirinya sendiri dalam rangka mengetahui siapa sang penciptanya. Dengan mengetahui kekurangn diri, maka akan semangkin merasa lemah dan tidak berdayannya diri.

Mengenal Diri, itulah suluk. Suluk adalah fase-fase perjalanan hidup untuk pada akhirnya mengalami realitas sejati. Hanya dengan mengenal jatidiri, maka makhluq mengenal Khaliq. Hanya dengan menyadari ia hina, maka ia mengerti Allah Maha Tinggi.

Hanya dengan mengenal jatidiri, maka makhluq mengenal Khaliq.  Dengan menyadari ia najis, maka ia mengerti Allah Maha Suci. Hanya dengan mengaku telah berbuat salah dan dosa, serta bertobat, maka manusia akan mengerti bahwa Allah Maha Pengampun.

Ihtitām

Orang yang bahagia yaitu orang yang ‘ngaca’ terhadap dirinya. Dai sejuta umat, Alm. Zainudin Mz pernah menyampaikan tausiah tentang ciri-ciri orang yang bahagia. Pertama, ingat akan kesalahan yang pernah diperbuat. Mengingat kesalahan dan dosa untuk menjadi lebih baik, baru kemarin berbuat dosa, ini nambah lagi. Kedua, melupakan kebaikan yang pernah dilakukan (merasa kebaikannya belum cukup). Ia merasa belum pernah berbuat baik, sehingga merasa rugi kalau tidak berbuat baik

Ketiga, dalam urusan dunia melihat kebawah. Artinya timbul rasa syukur. Masih banyak yang sengsara dari dirinya, ketika menemui kesulitan, ia berpikir masih banyak yang merasakan kesulitan dibandingkan dengannya. Keempat, dalam urusan akhirat ia melihat ke atas. Si Pulan bisa puasa sunah, kenapa saya tidak. Dia bisa ngaji, kok saya enggak. Iri terhadap dunia dilarang, iri dalam kebaikan sangat dianjurkan.

Untuk itu mari bersama-sama kita bercermin, tentunya dengan menggunakan cermin yang baik. Jika selama ini cermin yang kita gunakan itu belum baik, mari mulai detik ini juga diubah dan perlahan untuk meninggalkannya. Semoga kita diberikan kemudahan dan kekuatan oleh Allah SWT untuk selalu berada di jalan yang lurus, wa ihdinsshiratha al-mustaqiim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun