Sesuai dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 (Depdiknas, 2003)Pasal 5 pada ayat 1,2,3,4, dan 5 yaitu yang berbunyi bahwa pada ayat 1 Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, ayat 2 Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, ayat 3 Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, ayat 4 Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus, ayat 5 Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Jadi pendidikan merupakan hak semua warga negara indonesia, tak tekecuali juga bagi mereka yang berkebutuhan khusus dan setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan inklusi ialah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menyatukan anak-anak yang berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada umumnya untuk belajar. Menurut Hildegun Olsen (Tarmansyah, 2007) Pendidikan inklusi adalah sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat, berbakat. Anak-anak jalanan dan pekerja anak berasal dari populasi terpencil atau berpindah-pindah.
Bagi anak yang berkebutuhan khusus pendidikan inklusi ini bisa menubuhkan interaksi sosial dengan semua orang dan tidak minder karena yang kita ketahui bahwa jika pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) itu anak-anak yang ada disana tentu saja anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, dan jika anak anak ini disatukan didalam pendidikan inklusi maka sekolah tidak memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya.
Dalam penyelenggaraan sekolah inklusi tidak sesederhana menjalankan sekolah umum. Realitas di bidang ini adalah bahwa karakteristik anak berkebutuhan khusus yang diterima tidak sejalan dengan kebijakan, misalnya dalam penerimaan anak berkebutuhan khusus, tingkat kecerdasannya masih di bawah rata-rata, dan tidak ada ketentuan untuk kecerdasan anak, penentuan jumlah siswa yang diterima, dan tidak ada infrastruktur atau sarana dan prasarana khusus. Dukungan dari orang tua anak berkebutuhan khusus, orang tua siswa biasa, dan komunitas baru berupa dukungan moral. Dukungan yang dibutuhkan hendaknya berupa dukungan material dan berpartisipasi langsung dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi masyarakat sekitar ini dapat membuat masyarakat dapat menjadi saling menghormati dan menjunjung tinggi perbedaan dan keberagaman di dalam masyarakat, membangun rasa saling menolong dan bersosial antar anggota masyarakat sekitar sekolah. Dan juga masyarakat akan lebih terlibat di sekolah dalam rangka menciptakan hubungan yang lebih baik antara sekolah dan masyarakat (Tarmansyah, 2007) Â
Pada sekolah inklusi yang ideal baik bagi anak dengan digabungkannya antara anak berkebutuhan khusus dan anak pada umumnya ini menurut saya dapat menciptakan lingkungan yang dapat mendukung berempati pada anak berkebutuhan khusus, anak dapat berinteraksi spontan bersama teman-teman seumurannya terutama dari aspek sosial dan emosional. Dan untuk anak yang tidak berkebutuhan khusus memberikan kesempatan bagi mereka untuk belajar lebih berempati, bersikap saling tolong menolong dan peduli atau peka terhadap lingkungan, dan juga mereka dapat belajar bersama dan meraih prestasi sama-sama tanpa ada rasa tersaingin dan minder.
Depdiknas. (2003). Undang-undang RI No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Tarmansyah. (2007). Inklusi Pendidikan untuk Semua. Jakarta: Depdiknas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H