Suatu ketika seorang guru masuk ke dalam kelas, kemudian memberi perintah kepada siswa untuk mengambil buku teks tertentu, membuka halaman tertentu dan mulai menuliskan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di buku tersebut.
Ini mungkin terdengar seperti perintah sederhana, kebanyakan sekolah di Indonesia pun menggunakan sistem tersebut. Tetapi ini tidak berlaku untuk salah seorang remaja, sebut saja dia Hilman (13), menurutnya perintah itu merupakan perintah yang sangat sulit untuk diikuti.
Ibunya menjeaskan bahwasannya, ketika teman-temannya sudah berada di tahap pengerjaan tugas, anaknya masih pada tahap menyiapkan buku yang harus dikerjakan dan masih kebingungan mencari-cari halaman mana yang menjadi tugasnya.
Bukan karena dia bodoh, atau dia tidak mendengarkan, tetapi Hilman memiliki disabilitas disabilitas yang tidak tampak atau tersembunyi. Disabilitas ini memengaruhi keterampilan motorik kasar dan halus, serta perencanaan dan pengorganisasian kemampuan, semua pada tingkat yang lebih rendah atau lebih besar. Ini tergantung pada cara otak memproses informasi - ia "bagaimana dia mengambil sudut pandang", begitulah cara orang dewasa menggambarkan kondisi tersebut.
Ada juga yang secara blak-blakan menyebut "sindrom anak kikuk". Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwasannya hal itu mengganggu koordinasi fisik, sebenarnya ini adalah kondisi seumur hidup dan juga cenderung menyebabkan masalah pemrosesan sensorik. Anak-anak ini mengalami tanda-tanda awal seperti tahap merengkak yang terlewati, keterlambatan bicara dan bahasa, lambat dalam berpakaian, ketidakmampuan untuk tetap diam, tulisan tangan yang hampir tidak terbaca, tidak dapat mengikat tali sepatu dan konsentrasi yang buruk.
Satu kejadian masa kecil sebelum Hilman didiagnosis memiliki disabilitas yang muncul di benak ibunya. Beliau bertanya kepada Hilman untuk menyimpan susu kaleng itu. Hilman pun berkata, "Tentu, mau diletakkan dimana?" Saat Ibunya berkata kepada Hilman untuk menyimpan susu kaleng tersebut di dalam kulkas. Ibunya heran bagaimana hal yang biasa seperti itu tidak disadari oleh Hilman.
Ibunya mulau mencari Terapis dan menceritakan kejadian apa yang membuatnya yakin anaknya sedang tidak baik-baik saja. "Hilman tidak tahu di mana letak barang-barang disimpan."
Hilman, anak pertama dari dua bersaudara, duduk di kelas satu di sekolah dasar. Suatu ketika guru hilman menanyakan kepada ibunya, apakah beliau tau bahwa Hilman memiliki kesulitan. Ibunya berkata dia tahu anaknya mengalami kesulitan dengan angka dan memiliki masalah dalam mengurutkan. Tetapi guru menjelaskan bahswa menurutya lebih dari itu, dan berpikir bahwa Hilman mengalami Disleksia.
Kemudian, ibunya membawa Hilman ke dokter umum mereka yang merujuknya ke terapis okupasi untuk melakukan assesmen bersama dengan psikolog pendidikan. Mereka melakukan ini secara pribadi karena antrian "terlalu panjang".
Ibunya menyadari bahwa pengetahuannya tentang Dispraxia rendah, kalaupun tahu ibunya juga tidak memahaminya. Itulah mengapa perlu adanya pemahaman tentang dispraxia, terutama di kalangan profesional pendidikan dan kesehatan.
Diagnosis dispraxia Hilman ditemukan bahwa pembelajaran audionya berada dalam kisaran "supremasi" tetapi pembelajaran tertulis dan visualnya berada di persentil pertama.