Aku Ayah Korban
Oleh: Amirudin
'Ciiit'!... Sontak aku kaget mendengar bunyi rem mobil yang memekakkan telinga, tidak berselang lama disusul terdengar bunyi 'Brak'!... Mendengar bunyi hantaman yang keras itu, aku pun bergegas untuk melihatnya. Jalanan itu biasa kulalui sehari-hari menuju tempat kerja. Instingku sebagai kuli tinta mengharuskanku terlatih reflek ingin mengetahui dengan cepat apa sebenarnya yang terjadi.Â
Perkenalkan, aku seorang wartawan surat kabar harian online terkemuka. Baru satu bulan aku magang bekerja sebagai jurnalis peliput berita straight news atau berita yang ditulis secara ringkas, lugas, apa adanya, yang menginformasikan kejadian sehari-hari, bukan kategori berita investigasi serius dan mendalam layaknya depth news atau investigation news.Â
Senior sekaligus mentorku, Soni Ginting, berpesan, "Kamu harus pasang telinga dan mata ke mana pun kamu pergi, biasakan penasaran terhadap segala sesuatu dan hampiri segera peristiwanya." Arahan dan bimbingannya terngiang terus di telingaku. Sekejap aku membatin sambil berlari, "Inilah Bang, waktu yang tepat. Aku akan membuktikan kesungguhanku dalam bekerja, hingga kelak aku bisa diangkat sebagai pewarta tetap di sana." Â
Berada sekitar 30 meter dari asal mula bunyi tempat kejadian, tidak bisa membawaku terbang langsung berada di depan korban meski aku lari bergegas secepat yang kumampu. Peristiwa itu menyedot perhatian warga sekitar maupun pengendara yang melintas. Saat lari dari kejauhan kulihat samar-samar korban sudah melengkung di depan mobil. Korban tidak bisa mengelak ketika mobil itu datang tiba-tiba, pikirku.Â
Bunyi rem berdecit yang kudengar ngilu tadi sudah menunjukkan bahwa mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi. Bahkan garis roda yang direm di aspal itu terlihat jelas bekasnya. Aku sudah berusaha merangsek masuk ke tengah kerumunan warga yang sudah terlebih dahulu mengerumuni korban. Â
Aku mencari segala cara untuk bisa menyeruak masuk ke tengah orang banyak itu. Terngiang kembali obrolanku dengan Bang Ginting, sapaanku, sambil berusaha mengakrabkan diri dengan orang yang membimbingku itu di kantor. "Menjadi wartawan itu harus jujur, tidak boleh menyiarkan berita berdasarkan prasangka.Â
Kamu harus bisa menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak ngarang sendiri. Jadilah wartawan yang ulet mengejar berita dan menggunakan cara-cara profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik," nasehatnya. "Jangan jadi wartawan 'kaleng-kaleng', tidak tekun menjalani tugas jurnalistik. ujilah informasi, beritakan secara berimbang, dan tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta terapkan asas praduga tak bersalah," imbuhnya. Aku pun mengiyakannya, "Baik Bang, semua nasehat dan arahan Abang jadi ilmu buat aku.Â
Terima kasih banyak ya Bang sudah mengajariku lika-liku kode etik jurnalistik." Dalam hatiku bergumam, bekal pengetahuan ini sudah aku pelajari dulu saat di bangku kuliah. Kala waktu mengikuti training dan pelatihan saat aktif di organisasi mahasiswa pun, aku sudah mengenal wawasan tentang dunia insan pers. Namun, baru kali ini nasehat itu terasa seolah baru pertama kali aku mendengarnya. Bagaimana pun, kuakui Bang Ginting telah menjadi guruku dan inspirasiku.
Aku berusaha menerobos kerubungan orang banyak di sekitar korban. Sambil berusaha kembali bangkit satelah terhempas akibat dorongan lingkaran kerumunan itu, aku mencari ide liar. Kuketuk-ketuk kepalaku dengan kedua kepalan tanganku, sambil berkata, "Ayo dong, bagaimana caranya bisa merangsek ke tengah-tengah khalayak ramai itu?". Bak Archimedes, ilmuwan asal Yunani abad ke-16, dengan setengah berteriak, mata melotot dan mulut terbuka lebar, aku berkata, "Eureka!, aku menemukan ide!". Jika saat itu saking senangnya Archimedes menemukan teori baru, dikabarkan ia langsung keluar dari bathtubnya saat mandi, berlari-lari ke luar rumah dalam keadaan telanjang sambil berteriak "Eureka!, maka seolah melakukan hal serupa aku langsung melompat kegirangan saat menemukan ide agar bisa menyelinap masuk ke tengah orang-orang yang bergerombol mengerumuni korban itu.Â