Mohon tunggu...
amir amirudin
amir amirudin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terasing di Keluarga

27 Juni 2022   07:03 Diperbarui: 27 Juni 2022   07:17 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terasing di Keluarga

Oleh: Amirudin

"Kak, apakah mungkin kita bisa bertemu langsung untuk membicarakan situasi ini?" Pesan itu bertanya melalui aplikasi WhatsApp di ponselku. Aku tercenung sesaat terpikir itu sebuah permintaan yang masuk akal, namun kemudian sekonyong-konyong, sejuta emosi bergejolak di tubuhku seperti kekecewaan, kekhawatiran, ketakutan, harapan, dan terselip kerinduan di relung hati yang paling dalam.

Aku menyadari selama bertahun-tahun hubunganku dengan orang tua tidak sehat. Reaksi orang tuaku terhadap perubahanku dimulai sejak aku memakai doa qunut saat salat Subuh. Jariku pun tidak kugerak-gerakkan saat tasyahhud atau tahiyyat. Aku pun menambahkan lafal sayyidina ketika menyebut Baginda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam saat tasyahhud itu. Aku termenung, terkadang keluarga justru orang yang paling tidak dekat denganku di saat-saat seperti itu.

Aku terbangun dari lamunanku, saat notifikasi pesan masuk di ponselku berbunyi kembali.

"Ayah minta kita semua pulang ke rumah," pinta adikku sambil melanjutkan, "Ayah sakit keras."

Adikku tinggal di Bandung, tidak jauh dari rumah orang tua, sementara aku tinggal mengabdi di pesantren besar di Jawa Timur, Sidogiri tepatnya. Aku mendapatkan rumah tinggal di pesantren tersebut karena kedudukanku sebagai Ustaz senior di sana.

Aku menebak, adikku ingin berjumpa langsung denganku sebelum pulang karena ingin membicarakan permasalahan perbedaan pandangan beberapa kaifiyat ubudiyah antara diriku dan keluarga.

Meski kita tetap menjaga hubungan baik, namun saat itu, aku masih ingat bagaimana ayah dan keluarga meluapkan emosi dan kemarahan saat mengetahui aku berbeda dengan mereka dalam hal tata cara dalam ibadahku, kendatipun hanya masalah furu'iyyah dzanniyyah (cabang dan relatif asumtif) yang merupakan hasil ijtihad para ulama yang saling bertoleransi, bukan sebuah kesesatan sebagaimana yang keluarga tuduhkan kepadaku. 

Yang kuketahui, perbedaaan mazhab bukanlah kesesatan. Mazhab itu sendiri bukanlah aliran sesat. Menurut Ustaz Ahmad Sarwat, Lc., M.A.,

"Aliran sesat itu dikatakan sesat karena memang sesat. Dan kesesatan itu umumnya berada pada wilayah aqidah dasar, bukan pada wilayah ibadah yang merupakan cabang yang tidak terlalu prinsipil. Kalau kita lihat ada orang shalat dengan tangan di dada, atau jari telunjuknya bergoyang-goyang saat tahiyat, jelas sekali itu bukan penyelewengan akidah, meski mungkin buat sebagian kita, cara shalat seperti itu aneh dipandang mata. Tapi kalau sehabis kita shalat di suatu masjid, tiba-tiba bekas tempat kita shalat lantas dicuci tujuh kali salah satunya dengan air tujuh kali, ini merupakan ciri aliran sesat. Karena yang bekasnya dicuci tujuh kali adalah najis mughalladzhah. Lantas apakah diri kita ini dianggap najis seperti babi dan anjing?"

Aku masih tidak terima dengan vonis keluargaku, bahwa aku dinilai menyimpang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bermazhab dibilang taqlid buta, tidak mengikuti as-salafus shalih bahkan dikategorikan sesat. Padahal Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat. Apabila ada satu ajaran yang terindikasi memiliki salah satu dari kesepuluh kriterai itu, bisa dijadikan dasar untuk masuk ke dalam kelompok aliran sesat. Kriteria itu adalah mengingkari rukun iman dan rukun Islam, meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Al-Qur'an dan as-sunah), meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur'an, mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Qur'an, melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir, mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul, mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah, dan mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar'i.

Di sinilah kekecewaan, kekhawatiran, ketakutan, dan harapan, muncul meronta-ronta untuk memenuhi ajakan adikku itu. Meski tak kupungkiri terselip kerinduan di relung hati yang paling dalam akan jalinan erat silaturahim sebuah keluarga. Saat itu menyelinap pula kerinduan suasana kampung halamanku yang indah. Lamunan membawaku terbang jauh terbayang masa kecilku, saat di desa Cikole. Cikole adalah nama desa terdekat dengan Gunung Tangkuban Perahu, jaraknya sekitar 7 km. Mayoritas penduduknya adalah petani. Banyak sekali hasil bumi yang dihasilkan dari desa ini, terutama sayuran dan tomat yang paling dominan. Desa yang berhawa sejuk dan dingin, dikelilingi hamparan sawah pegunungan dan pepohonan rimbun ini selalu menghadirkan kerinduan di alam bawah sadarku.

Astaghfirullah. Aku beristighfar dengan keegoanku. Aku pun memutuskan pulang.
"Ayah ingin berbicara dengan Kakak, Ayah menunggu Kakak sekarang." Adikku memulai pembicaraan saat aku tiba di kediamannya. Aku hanya diam dan mengangguk saat ia menawariku helm untuk segera berangkat. Aku masih merasa asing diboncengnya. Puluhan tahun tak berjumpa membuat kami canggung berbasa-basi.

Motor itu mengantarkan kami ke sebuah rumah yang meninggalkan nostalgia indah bersama keluarga di masa kecilku dahulu kala. Terbayang keceriaan bermain dan mengaji bersama adikku dan beberapa kawan di rumah ini. Ayahku seorang tokoh agama. Banyak orang-orang desa datang mengaji, meminta nasehat, dan berkonsultasi masalah agama dengan ayah.

Hari itu tatapan seluruh keluarga atas kedatanganku tetaplah asing. Aku mendekat ke wajah ayahku, bersimpuh di pembaringannya. Hilang terbang terbawa angin  semua kekecewaan, kekhawatiran, ketakutan, bahkan kemarahan yang selama ini tersimpan dalam dada. Tangisku pecah saat kuberkata,

"Maafkan aku ayah," pintaku tak kuat melihat keadaannya terbaring sakit.

"Nak, Ayah sudah memaafkanmu," Ayahku membuka mulutnya, dan melanjutkan,

"Ayah yang meminta maaf padamu, Nak." Sembari menghela nafas panjang ia berujar untuk terakhir kalinya,

"Tolong lanjutkan perjuangan dakwah di sini, Ayah ridha dengan ilmu yang sudah kamu miliki. Ajarkan orang-orang dengan ilmumu."

Semua menangis saat ayah memulai proses sakaratul maut. Bimbingan kalimat tauhid indah dilantunkan seluruh keluarga. Laa ilaaha illallah. Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun