Mohon tunggu...
AMIRA HASNASALSABILA
AMIRA HASNASALSABILA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Melihat Eksistensi Sistem Noken di Papua: Hukum, Budaya, dan Asas Pemilu

28 Maret 2024   17:15 Diperbarui: 28 Maret 2024   17:35 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Papua, tanah yang kaya akan keanekaragaman budaya dan keindahan alamnya, juga menyimpan uniknya sistem pemilihan umum yang dikenal dengan nama "noken". Sistem ini, yang menjadi bagian integral dari budaya dan tradisi Papua, kini semakin menjadi sorotan dalam konteks hukum, budaya, dan asas pemilu yang berlaku di Indonesia. Seperti di tempat lain di Indonesia, Papua juga merayakan euforia pemilu dengan semangat yang tinggi. Masyarakatnya turut berpartisipasi dalam proses demokrasi dengan memberikan suara mereka untuk memilih para pemimpin mereka, baik di tingkat lokal maupun nasional. Namun, di tengah euforia ini, sistem noken menjadi sorotan utama karena aspeknya yang unik dan berbeda dari sistem pemilihan umum pada umumnya. Asas pemilu yang utama, yaitu langsung, bebas, dan rahasia, menjadi landasan demokrasi yang kuat di Indonesia. Namun, sistem noken di Papua menghadirkan dinamika tersendiri dalam aspek-aspek ini.

Sistem noken di Papua, yang menyerahkan peran pemilihan umum kepada pemimpin adat atau kepala suku, memunculkan pertanyaan yang serius terkait esensi demokrasi. Meskipun upaya ini dimaksudkan untuk melibatkan komunitas adat secara langsung dalam proses politik, ada keraguan tentang sejauh mana pemilihan tersebut mencerminkan kehendak sebenarnya dari warga Papua secara keseluruhan. Meskipun warga memiliki kesempatan untuk menyatakan preferensi politik mereka, keterlibatan kuat kepala suku dalam menentukan arah suara masyarakat mengarah pada keraguan tentang seberapa akurat proses tersebut dalam mewakili kehendak individu. Ini menimbulkan dilema antara kebutuhan untuk memelihara tradisi dan memperkuat partisipasi politik yang inklusif serta representatif.

Keseluruhan proses ini memunculkan pertanyaan tentang legitimasi dan representasi dalam konteks demokrasi modern. Meskipun sistem noken memberikan penghargaan kepada struktur kebudayaan dan sosial Papua yang kaya, ada risiko bahwa pemilihan umum tidak sepenuhnya mencerminkan keragaman pendapat yang mungkin ada di antara warga Papua. Kritikus berpendapat bahwa sistem ini cenderung memperkuat dominasi pemimpin adat tertentu, mungkin membatasi kebebasan dan keragaman politik yang seharusnya dimiliki oleh rakyat Papua. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah keputusan yang diambil benar-benar mewakili aspirasi dan kepentingan seluruh komunitas, atau hanya sebagian kecil dari mereka yang diperkuat oleh elit tradisional.

Untuk memastikan representasi politik yang lebih inklusif dan transparan, perlu dipertimbangkan reformasi sistem noken dengan memperkuat partisipasi langsung warga Papua dalam pemilihan umum. Ini dapat dilakukan melalui pendekatan yang menggabungkan nilai-nilai kebudayaan tradisional dengan prinsip-prinsip demokrasi modern, seperti memperkenalkan mekanisme yang memungkinkan warga untuk secara langsung menyuarakan pilihannya sambil tetap menghormati peran penting pemimpin adat dalam konteks sosial dan budaya. Dengan demikian, upaya tersebut dapat menghasilkan proses politik yang lebih representatif dan mendorong partisipasi yang lebih luas dari semua lapisan masyarakat Papua.

Kebenaran kebebasan dalam sistem noken menjadi subjek perdebatan yang signifikan. Walaupun secara formal warga memiliki hak untuk menyatakan preferensi politik mereka, realitas tekanan sosial dan politik di dalam masyarakat Papua dapat menghambat kebebasan tersebut. Faktor-faktor seperti ketergantungan ekonomi, hierarki sosial, dan pengaruh kuat pemimpin adat dapat membuat individu merasa terpaksa untuk memilih sesuai dengan harapan kelompok atau pemimpin mereka. Dalam konteks ini, pertanyaan muncul tentang seberapa jauh proses pemilihan umum dalam sistem noken benar-benar mencerminkan kehendak serta kepentingan asli dari setiap pemilih.

Kritik terhadap sistem noken semakin terdengar karena potensi adanya pembatasan terhadap kebebasan individu dalam mengekspresikan pendapat politik mereka. Meskipun ada upaya untuk memelihara budaya dan tradisi lokal, penekanan yang terlalu kuat pada struktur hierarkis dan otoritarian dalam sistem noken dapat memicu ketidakadilan politik. Seiring dengan itu, pemilih yang mungkin memiliki pandangan berbeda atau kritis terhadap pemimpin adat atau kebijakan lokal mungkin merasa terdorong untuk menahan diri atau bahkan menerima tekanan untuk memilih sesuai dengan norma sosial yang ada.

Dalam menyikapi permasalahan ini, perlunya dilakukan evaluasi mendalam terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang mendasari sistem noken. Reformasi yang lebih substansial mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak politik dan kebebasan individu dihormati sepenuhnya. Langkah-langkah seperti memperkuat mekanisme perlindungan hak asasi manusia, mendukung partisipasi politik yang lebih aktif dari warga Papua, dan mempromosikan budaya dialog dan pluralisme politik dapat membantu mengatasi ketidakseimbangan kekuasaan dan memperkuat fondasi demokrasi di Papua. Dengan demikian pemerintah dan pemimpin adat di Papua untuk bersama-sama memperjuangkan proses politik yang lebih inklusif dan demokratis. Ini melibatkan upaya konkret untuk menjamin kebebasan berpendapat dan mengekspresikan pilihan politik tanpa rasa takut atau penindasan. Hanya dengan menghormati hak-hak individu dan membangun sistem yang memungkinkan partisipasi yang sejati, Papua dapat menuju kepada representasi politik yang lebih akurat dan inklusif bagi semua warganya.

Salah satu tantangan terbesar sistem noken adalah dalam menjaga kerahasiaan suara. Kepala suku sering kali memiliki akses ke informasi pribadi dan politik dari anggota masyarakat mereka, termasuk pilihan politik mereka. Kekurangan ini dalam menjaga kerahasiaan suara dapat mempengaruhi kebebasan individu dalam memberikan suara mereka tanpa takut atau tekanan dari pihak lain. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang integritas dan validitas proses pemilihan umum dalam sistem noken, serta menyoroti perlunya peningkatan dalam perlindungan hak-hak demokratis individu dalam konteks ini.

Kepala suku sering kali mengetahui pilihan setiap individu di dalam masyarakat mereka, yang berpotensi mengancam kebebasan dan kerahasiaan dalam memberikan suara. Pernyataan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang diperbolehkannya sistem noken memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan pengamat politik. Meskipun diakui sebagai bagian dari warisan budaya dan tradisi Papua, keberadaan sistem noken menjadi subjek perdebatan dalam ranah hukum, terutama terkait dengan prinsip-prinsip demokrasi yang kuat. Pendukung sistem noken menegaskan perlunya menghargai dan mempertahankan kearifan lokal serta budaya adat Papua, sementara kritikus menyoroti ketidaksesuaian sistem ini dengan prinsip-prinsip demokrasi yang merata dan transparan. Dengan demikian, eksistensi sistem noken di Papua tetap menjadi fokus perdebatan yang kompleks, yang mempertemukan antara perlindungan budaya dan tradisi lokal dengan prinsip-prinsip demokrasi yang universal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun