Gagasan Borobudur sebagai pusat musik dunia ini tertanam di jiwa para seniman Nusantara. Bersama Kemenparekraf Republik Indonesia, para seniman dan budayawan menggelar rangkaian acara dan kampanye dengan tajuk "Sound of Borobudur" pada April 2021. Dalam acara ini, diperkenalkan alat-alat musik hasil rekonstruksi relief Candi Borobudur. Pekerjaan ini tidaklah mudah dan membutuhkan waktu lama, namun hasil yang dicapai sangat inovatif. Alat-alat musik hasil rekonstruksi tersebut sukses dalam 'membunyikan' Borobudur, menyajikan nuansa nostalgik akan zaman yang belum pernah kita alami tetapi dapat dibayangkan. Esensi dari "Sound of Borobudur" adalah mengingatkan sekaligus memperkenalkan Borobudur sebagai pusat musik dunia, bukan hanya pusat musik Jawa. Borobudur telah berfungsi sebagai wadah persaudaraan dalam masanya. Hal inilah yang dirasa krusial, di mana nilai-nilai persaudaraan mulai tergerus seiring zaman.
Menilik kembali relief-relief tersebut seakan-akan sedang mendengar pesan dari masa lalu. Masa lalu itu dengan agungnya bercerita tentang semangat persatuan dan kekeluargaan yang kental. Mereka tidak mengenal batas-batas dalam bersaudara. Kata Asia Tenggara sendiri adalah istilah yang diberikan oleh bangsa barat pada abad ke-19. Mereka menciptakan sebuah peta kawasan yang memiliki batas-batas wilayah yang jelas. Batas-batas tersebut didasarkan atas batas kolonialisme, yang diciptakan untuk kepentingan negara induk atas koloni-koloninya.Â
Negara-negara yang sekarang terbentuk dibagi berdasarkan daerah jajahan bangsa barat sebelum perang dunia II. Hindia Timur, bekas wilayah jajahan Belanda, menjadi Indonesia. Wilayah Filipina sebelumnya merupakan jajahan Amerika, dan sebagainya. Terbentuknya negara berdasar batas-batas kolonial ini memang memberikan kejelasan kedaulatan yang mampu dipertanggungjawabkan secara hukum, namun terdapat batas-batas yang dilupakan dalam penyusunan negara-negara bangsa ini. Batas tersebut adalah batas kultural, yang tidak bisa dipisahkan melalui garis dan dikotak-kotakkan begitu saja.
Jika terjadi konflik antar daerah, wilayah-wilayah di Asia Tenggara pra modern memiliki cara sendiri untuk menyelesaikannya. Cara ini sekarang kita kenal dengan nama musyawarah. Contohnya, dalam perang Vietnam-Laos pada abad ke-17, penyelesaian konflik dilakukan secara bijaksana di mana para pemimpin Le di Vietnam dan kerajaan Lao sepakat bahwa setiap penduduk di Mekong bagian atas yang tinggal di rumah panggung menjadi milik Laos, dan penduduk yang rumahnya berada di tanah menjadi milik Vietnam. Dari sini, dapat dipelajari betapa nenek moyang kita menjunjung tinggi asas persatuan.
Pesan persatuan yang disuarakan relief-relief Borobudur merupakan pengingat bahwa kita pada dasarnya merupakan satu rumpun. Belajar dari kolonialisme, teknologi adalah pisau bermata dua. Di satu sisi dia menawarkan kemajuan peradaban, dan di sisi lain memiliki potensi untuk memecah persaudaraan. Dengan kemajuan teknologi di masa kini, banyak tantangan yang menguji rasa persatuan dalam masyarakat. Diakuinya Borobudur sebagai warisan dunia oleh UNESCO seakan-akan memberi tanggung jawab kepada seluruh dunia agar menjaga keagungan pesan Borobudur. Peran tersebut seharusnya diresapi dengan sungguh-sungguh oleh warga Indonesia, di mana kita bisa ikut serta langsung dalam pemeliharaan candi ini. Sebagai salah satu situs yang masuk dalam program 'Wonderful Indonesia', Borobudur telah memberi janji kepada dunia, bahwa Indonesia adalah tempat bagi semua orang untuk menikmati 'World of Wonderful'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H