Shigeru Sato menulis artikel dalam Journal of Southeast Asian Studies yang berjudul "Indonesia 1939-1942: Prelude to the Japanese Occupation". Artikel ini bisa dilihat sebagai perspektif yang lain dalam meneliti kondisi pedesaan Jawa pada masa pendudukan Jepang. Sato juga dikenal atas karyanya yang berjudul "War, Nationalism and Peasants: Java Under the Japanese Occupation, 1942-1945". Buku ini seringkali dinilai sebagai buku putih masa penjajahan Jepang di Indonesia. Fokus utama artikel ini adalah menyajikan kondisi Indonesia sebelum kedatangan Jepang dan menghubungkannya dengan masa pemerintahan Jepang.
Berbeda dengan artikel Benedict Anderson, Problem of Rice, yang berisi pandangan-pandangan kaum intelektual terhadap permasalahan beras dan pangan di Indonesia, di mana tidak banyak ruang baginya untuk memberikan perspektif-perspektif ataupun menyajikan fakta-fakta lain yang dapat mendukung suatu opini, artikel Shigeru Sato memberi penekanan pada kondisi buruk di Indonesia yang sudah ada sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Dengan fakta-fakta yang mendukung, Sato menghubungkan kebijakan pemerintah Jepang di Indonesia sebagai kelanjutan dari kondisi yang sudah ada sebelumnya.
Menurut Sato, kebijakan sistem 'penyetoran beras secara paksa' yang dilakukan di Jepang bukan merupakan hal baru dan berawal dari sistem yang sudah diterapkan sebelumnya pada masa pemerintahan Belanda. Akibat dari depresi ekonomi yang terjadi menjelang perang dunia kedua, pemerintah kolonial Belanda campur tangan dalam ketersediaan pangan di Indonesia.Â
Impor beras dibatasi dan dimulai langkah menuju swasembada pangan. Jawa dijadikan pemasok utama beras untuk daerah-daerah yang kekurangan. Namun, Jawa sendiri pada saat itu tidak bisa menambah produksinya untuk dikirim ke luar Jawa. Maka setelah 1938, pemerintah kolonial meningkatkan kontrolnya atas produksi dan pendistribusian logistik. Pada diskusi Volksraad 15 September 1939, diputuskan untuk menambah produksi pangan di area-area berikut: Sumatra, Riau, Jambi, Bangka, Belitung, Borneo, dan Manado. Tiga bulan kemudian ditambah Aceh, Tapanuli, dan beberapa daerah Borneo.
Pada 25 April 1939 pemerintah kolonial merancang Voedingsmiddelenfonds atau dana bahan pangan untuk membantu kontrol pemerintah dalam pengadaan dan transportasi bahan pangan. Pada 1940 didirikan Rijsr Verkoop Centrale atau pusat penjualan beras, dan mewajibkan penggilingan-penggilingan beras di setiap residen untuk menjual berasnya di sana. Beras yang dibeli sebagian dipasarkan secara lokal, dan sebagian lagi ditimbun di pelabuhan-pelabuhan besar di sepanjang pantai utara Jawa dan di pulau-pulau luar Jawa.
Monopoli terhadap penggilingan beras yang dilakukan pemerintah kolonial juga tidak lepas dari masalah. Pasca pelarangan impor beras di Indonesia, etnis China yang memiliki bisnis di impor beras pun banting setir ke industri penggilingan beras dan segera memonopoli kepemilikannya di Jawa. Jumlah penggilingan beras pun bertambah pesat.Â
Hal ini memiliki efek negatif terhadap petani. Eksistensi penggilingan merampas pekerjaan manual yang dilakukan para wanita Jawa, sehingga pendapatan mereka menurun. Beras yang dilakukan di penggilingan pun menjadi lebih mahal sehingga sulit dijangkau oleh petani kecil, sehingga sulit untuk memperoleh sumber pangan untuk kebutuhan sehari-hari. Konflik etnis ini berujung pada pemberontakan petani yang berlangsung pada masa pendudukan Jepang.
Hal lain yang dibahas dalam artikel ini terkait permasalahan di pedesaan adalah langkanya bahan pakaian pada masa pendudukan Jepang. Industri tekstil telah menurun di akhir masa pendudukan Belanda, dan kondisi ini semakin akut pada masa pendudukan Jepang. Shigeru Sato berpendapat bahwa hal ini tidak begitu parah terjadi jika Jepang masih mengekspor produk-produk tekstilnya. Pada 1936 Jepang menjadi eksportir tekstil terbesar, dengan presentasi 56,2 % dari total ekspor Jepang. Wol dan kapas merupakan komponen utama yang dibutuhkan Jepang dalam industri tekstil. Namun, pasca Sino-Japanese War pada Juli 1937, ekspor ini turun drastis. Fokus Jepang saat itu adalah mengubah industri kecil ke industri besar yang berhubungan dengan perang.
Alasan lain dalam menurunnya industri tekstil Jepang adalah kesulitan mempertahankan material. Eksportir terbesar kapas dan wol adalah Amerika Serikat dan India, disusul China pada posisi ketiga. Namun, ekspor material dari China terhenti sejak 1937, sedangkan blokade yang ditujukan pada Jepang sejak 1941 membuatnya tidak bisa lagi mengimpor dari negara-negara tersebut. Oleh sebab itulah Jepang hanya bisa memanfaatkan sumber daya dari negara-negara taklukannya.Â
Setelah menduduki Asia Tenggara, Jepang meluaskan produksi kapas ke seluruh wilayah taklukannya, dan menargetkan rencana lima tahun yaitu sejak 1943-1947 dan mampu menghasilkan sekitar separuh dari konsumsi lokal. Namun akibat dari rencana ini sangat buruk. Dibutuhkan banyak buruh dan ladang, sehingga berefek pada terganggunya produksi bahan pangan. Selain itu, hasil kapas yang dihasilkan juga sedikit, diakibatkan oleh kurangnya pupuk dan insektisida, yang saat itu sedang langka dan harganya melambung tinggi.
Karena kebutuhan akan bahan baku, Jepang menggunakan alat tenun untuk memproduksi kantung-kantung sebagai wadah hasil industri. Mesin tenun ini digunakan untuk memproduksi kantung sisal (serat yang biasa digunakan untuk membuat tali dan sikat) dalam skala besar. 2 juta ton gula pun dipindahkan ke kantung sisal dari karung goni. Karung goni pun menjadi bahan yang mudah ditemui. Rakyat kemudian memanfaatkan karung ini menjadi pakaian seadanya. Menjelang akhir pendudukan, banyak rakyat yang memakai karung goni sebagai pakaian. Kekurangan pakaian sangat akut hingga orang-orang tanpa busana terlihat di jalanan mulai dari desa hingga di kota.