Begitulah kondisi kami saat bekerja sebagai guru honorer di lereng Gunung Raung, Bondowoso. Mendengar kabar honorer akan dihapus tentu membuat perasaan campur aduk.Â
Meskipun masih satu tahun kemudian, nasib kehidupan harus sudah dipikirkan di detik ini. Antara nasib bisa berlanjut menjadi PPPK dan PNS atau malah tersingkir menjadi pengangguran lagi?.
Menjadi honorer sangat menyenangkan dibanding menjadi pengangguran di desa. Karyawan honorer masih memiliki gengsi dibanding sekedar bertani atau berternak.
Sebab, sebagian tanah yang digarap atau ternak yang dirawat bukanlah milik sendiri. Jadi penghasilan honorer yang didapat setiap bulan menjadi hal mewah meskipun jauh dari UMR.
Darimana penghasilan mini itu?. Penghasilan honorer didapat dari dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS. Dana ini bergantung pada jumlah siswa yang ada di sekolah.Â
Semakin sedikit siswa maka dana yang diterima sekolah semakin minim dan berdampak pada pembagian honor guru. Penyesuaian sistim pendidikan dan operasional sekolah sangat rumit bagi sekolah kami yang masih berjuang mencapai standart.
Sungguh kabar ini seperti bayangan PHK di depan mata bagi orang yang murni bergantung pada gaji honorer. Pekerjaan guru honorer sama seperti guru PNS dan PPPK. Itu menurut hemat kami.Â
Bahkan kami tahu kecilnya gaji tapi masih mencari tambahan dengan ambil lembur menjadi tim operasional sekolah atau tukang kebun di sekolah. Â Intinya, apapun yang bisa menghasilkan duit, kami kerjakan.Â
Sementara ini, ada beberapa solusi yang sedang berkecamuk di benak.Â
Pertama, mempersiapkan diri untuk melamar posisi PPPK atau PNS yang biasanya berebut dengan ratusan atau ribuan pelamar.Â
Kedua, mencari perkerjaan sampingan seperti merawat lahan orang, merawat ternak orang, atau memanen kopi di kebun milik orang.Â