Aku tau teman2mu pasti akan marah kepadamu kalau engkau masih bersamaku. Tetapi apakah kamu tau kalo aku pun punya teman2 yg melarangku. saat itu terjadi aku sendiri yang berhak mengambil keputusan untuk tetap percaya padamu. Kamu berkata bahwa aku berubah, kamu ingin semuanya berjalan sesuai mau mu. Tapi tak sedikitpun aku berkata kamu berubah padaku. Aku percaya dengan cintamu. itu kamu tahu, aku tahu. Aku pernah selama tiga tahun mengunjungimu menemanimu bersamamu. Saat itu aku selalu berharap senyummu hadir hanya untukku. Tidak seperti sekarang, kamu hanya menyerahkan segalanya kepada waktu dan menghubung2kan Takdir.
Okelah, Tak masalah.. Mana jiwa fighting-mu, mana hati kerasmu, mana keteguhan prinsipmu, mana komitmenmu yg kita bangun.. Bukankah aku masih mencintaimu. Lagipula masih berhakkah aku marah-marah gak karuan? Kita sekarang cuma sepenggal kisah masa lalu.
Kadang, Aku pulang dengan memelankan laju mobilku. Kakiku melangkah menuju tempat pertama kali kita bertemu. sebuah meja kayu kursi kayu dan segelas kopi.. Jarak dari sini ke tempatmu cuma ratusan meter. tempat ini selalu mengingatkanku. Disini juga aku memulai.. Disini aku sering berharapmu. Lewat tempat ini pulalah aku memintas menuju pulang. Tempat ini banyak menyimpan sedih-suka-ku. Dan sekarang, disini juga aku membayangkan kepalamu bersandar di pundakku.Â
Mataku terpenjam meski tak perlu. Tak ada apa2 disini. Memejamkan mata atau tidak, tak ada bedanya. Aku mulai mencoba mengingat semua masa kita dengan terlebih dahulu menyebut namamu. Ada rasa cinta yang masih mengalir.. Dingin.. Perih.. Berombak-ombak.. Berontak lantas bermuara di dada.
Putus! Mulutmu mengeluarkannya. Biasanya aku cuma diam saja, tak pernah aku menjawab kata-kata Putus. Aku lebih memilih diam tak sepatah katapun walaupun kita tak bertegur sapa. Namun ini sudah kesekian kalinya terjadi antara kita. Aku pun sudah pernah mengatakan padamu Jangan pernah main-main dengan kata ‘Putus’ .bahkan yg terpedih-pun pernah kita lewati.  Pernah ku katakan.. bertemu baik-baik dan bilang langsung bila kita mau akhiri. Tapi, kali ini aku sedikit menerima sambil melihat sepatu yang kupakai.
Sayangku..
Aku tidak pernah bosan menunggumu menjadi dewasa.. Kamu tak mengijinkanku berbagi maaf denganmu. Sudah berapa kali aku bertengkar denganmu namun rupanya kamu dan aku belum sama-sama paham. Namun engkau salah sangka.. Kamu berpikir aku-lah yang tak mengerti denganmu.
Sayangku..
Kamu bahagia saat ini, kan? Senyum pipi chubby-mu menggembung.. Matamu membesar.. Mengisikan keceriaan akan jalan yg kau pilih. Mungkin ini benar katamu.. sudah jalannya dan mungkin pula benar kataku.. kamu mulai mencari yang lain untuk memulai cerita yang baru.Â
Aku bahagia juga buat kamu. tak terucap.. namun rasakan di hatimu.. Aku mengirim degup jantungku.. Sudah terasa-kah?
Mengertikah kamu, degup jantung kita sama. Degup jantung se-bahagia dirimu.. Aku tak berhak lagi menghalangi bahagiamu.. Kamu memang pantas bahagia setelah apa yang kamu alami.
Tak pernah terpikir olehku menyumpahimu meski kamu mengatakan Putus, karena aku memujamu. Tak pantas aku menyesali kepergianmu karena engkau selalu dekat dengan jiwaku.. Malam itu. Di tempat itu.. Aku meninggalkan lukaku.. Menguburnya di rerimbunan pohon gelap. Aku bangkit lagi.. Menyalakan mobil untuk pulang.Â
Aku masih menggigil menanti esok hari di dalam kamar. Suatu kesadaran menghampiri, mengatakan satu hal bahwa esok kamu tak pernah lagi mau menemuiku. Esok…kamu bukan milikku selamanya..Â