Mohon tunggu...
Amir Al Maruzy
Amir Al Maruzy Mohon Tunggu... Freelancer - blogger

Belajar Adalah Kunci Sukses.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kampung Para Eks. PKI

27 Agustus 2010   00:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:41 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu hari sepulang mengajar, saya menyempatkan singgah di sebuah perkampungan, Moncongloe namanya. Sekilas kampung ini memang tidak bedanya dengan kampung-kampung dipelosok lainnya. Jalannya memang sekaran sudah mendingan karena sudah di hotmix licin. Disana sini nampak kebun ketela (ubi kayu). Rumah penduduk yang sederhana nampak berjajar rapi. Dibalik suasana tenang kampung Moncongloe ternyata tersimpan seribu kenangan pahit, karna disini dulunya merupakan kamp konsetrasi penahanan orang-orang yang terlibat atau dituduh terlibat PKI dan ormas-ormasnya.

Saya kekampung ini sebenarnya ingin ketemu sama eks. Tapol PKI yang bernama Pak Sumiran, kalau ditili dari namanya Pak sumiran ini orang Jawa. Ternyata benar dia orang jawa. Selang beberapa saat, saya tiba dirumah Pak Sumiran. Saya dipersilahkan masuk oleh anak gadisnya. Setelah berbasa basi sejenak saya mengutarakan masuk kedatangan saya untuk ketemu dengan Pak Sumiran, anak gadisnya ini mengatakan bahwa ayahnya tidak ada dirumah, beliau sedang menghadiri pertemuan Imam dusun di kantor kecamatan. Maklum Pak Sumiran sudah lama jadi Imam dusun di kampung ini.

Dalam hati saya sempat merasa kecewa karena tidak sempat bertemu langsung dengan beliau. Waktu itu mau langsung pamit pulang, namun anak gadis dari pak Sumiran ini menahan saya, katanya istirahat dululah disini, sambil menyodorkan segelas minuman dingin, wah mantap minumnya keturunan PKI ini gumanku dalam hati (he he he jadi kebawa propaganda Orde Baru). Kuamati rumah Pak Sumiran dalam ruang tamunya terpampang gambar Garuda Pancasila, gambar ini barangkali sebagai ungkapan bahwa penghuni rumah ini meskipun bekas Tapol PKI namun sekarang sudah Pancasilais, rumah pak Sumiran lumayan bagus, anak-anaknya dikuliahkan, semua itu menurut anaknya berkat ketekenan ayahnya bekerja sdikebun sejak di “buang” ketempat ini. Setelah berbincang sejenak, saya kemudian izin pada anak Sumiran untuk memotret Masjid dan Gereja di bekas kamp Konsentrasi ini.

Karna tidak sempat ketemu dengan pak Sumiran (mungkin lain waktu lagi) dan mendengar langsung kisahnya menjadi Tapol PKI, maka lewat tulisan ini saya akan menuliskan sejarah Kamp Konsentrasi PKI Moncongloe saya caplok dari buku karya Taufik Ahmad.

Moncongloe sebuah daerah yang berada di perbatasan Maros dan Gowa, sekitar 25 Km dari ibukota kabupaten Gowa dan 15 km dari kabupaten Maros. Penumpasan dan Penangkapan terhadap anggota dan simpatisan PKI pasca tragedi G30S jumlah Tahanan polItik bertambah secara drastis sehingga sel-sel tidak mampu menampung Tapol dan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan Tapol. Kemudian muncul Moncongloe sebagai tempat pembinaan dalam bentuk pengasingan sehingga Tapol dapat mandiri. Moncongloe dipilih karena dianggap aman dan mampu dikontrol oleh militer sebab Moncongloe dikelilingi markas militer Kodam XIV Hasanuddin.

Tapol yang menghuni Inrehab Moncongloe sebanyak 911 orang yang terdiri atas 52 Perempuan dan 859 Laki-laki yang berasal dari berbagai daerah yang berlangsung secara bergelombang mulai 1969 sampai 1971. 250 tapol didatangkan dari penjara Makassar pada tahun 1961 dan menjelang pemilihan umum 1971 Tapol didatangkan dari Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, dan Selayar. Akan tetapi tidak semua penghuni Inrehab Moncongloe murni anggota PKI. Sebagian dari mereka hanya karena korban salah tangkap atau mereka yang di PKI kan.
Selama di Moncongloe Tapol tidak hanya dituntut untuk memenuhi kehidupannya tapi juga harus mampu berproduksi untuk memenuhi kebutuhan militer baik kepentingan institusi maupun kepentingan pribadi petugas Inrehab. Ada beberapa pola Eksploitasi tenaga Tapol pertama korve dan konsentrasi Tapol di Kamp Inrehab, Tapol dibagi dalam beberapa regu korve yang terdiri dari korve penebang pohon, korve gergaji, korve pencari batu, korve penebang bambu. Kedua Tapol dikerahkan untuk bekerja pada proyek pembangunan unit kantor Kodim dan perumahan militer serta rumah pribadi anggota militer. Ketiga Tapol bekerja di rumah-rumah anggota Kiwal Kodam XIV Hasanuddin. Tapol terkadang mengalami eksploitasi berlapis adanya kepentingan pribadi petugas Inrehab dan kepentingan institusi militer sehingga untuk memenuhi kebutuhan pribadi Tapol sangat susah.

Eksploitasi sangat dirasakan oleh tapol karena hasil dari pekerjaan hanya dinikmati oleh petugas Inrehab sehingga resistensi bukanlah hal baru yang dilakukan oleh Tapol. Bentuk resistensi yang paling sederhana dilakukan adalah bermalas-malasan bekerja di kebun petugas terutama kebun yang jaraknya jauh dari lokasi Inrehab sehingga pengawasanpun longgar. Bentuk resistensi lainnya adalah merusak kebun petugas secara sembunyi-sembunyi dan melakukan hal-hal yang merugikan petugas Inrehab. Diwaktu lain politik akomodasi menjadi jalan untuk bertahan dengan jalan berusaha mendekati petugas secara personal dengan cara memberikan hasil hutan kepada petugas sehingga terhindar dari perlakuan keras petugas Inrehab.

Pengasingan terhadap Tapol berkahir pada tahun 1979 namun tidakk berarti persoalan hidup mereka selesai, mereka tetap memilkul berbagai hukuman kolektif, justru kehidupan mereka lebih berat, karena dikucilkan dalam pengasingan itu wajar namun dikucilkan ditengah kehidupan sosial akan mengarah pada depresi dan kehilangan kepercayaan diri. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hal itu bukan perkara mudah apalagi dengan status sebagai eks Tapol yang harus menerima stigmatisasi “tidak bersih lingkungan” yang dilakukan secara intensif oleh pemerintah Orde Baru.
Pembebasan Tapol hanya merupakan perubahan pengontrolan Negara terhadap Tapol dari kontrol fisik dalam Kamp Inrehab menjadi kontrol sosial di lingkungan masyarakat, pemerintah mengeluarkan berbagai ketentuan yang membatasi dan mengontrol secara efektif ruang gerak eks Tapol. Lebih parah lagi stigma tidak bersih lingkungan tidak berhenti pada tapol itu saja tapi menjalar sampai anak dan cucu mereka hingga melahirkan suatu bentuk pengasingan baru di tengah lingkungan. Demikianlah sedikit tentang kisah dari eks. Kamp. Konsentrasi Tapol PKI di
Moncongloe.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun