Tradisi menurut Michel Foucault (Arkeologi Pengetahuan, 2012) merupakan peristiwa berulang namun bukan praktik keseharian yang biasa dilakukan secara naluriah seperti makan, minum dan sejenisnya. Disebut tradisi ketika meski dia berulang secara rutin dan berkala namun dia memiliki tampilan berbeda dengan peristiwa-peristiwa lainnya.Â
Dalam bahasa Foucault, tradisi memberikan status temporal tertentu bagi sekumpulan fenomena yang datang silih berganti dan identik atau paling kurang hampir serupa.
Kalau upacara merupakan tradisi bagi kepentingan penguasa, di sisi mana upacara disebut sebagai ritual budaya?
Beberapa pakar tentang Indonesia seperti Clifford Geertz (1926 -- 2006) dan Ben Anderson (1936 -- 2015), memberikan ulasan menarik tentang relasi kekuasaan (penguasa) dengan rakyat di wilayah yang hari ini kita sebut sebagai Indonesia.
Legitimasi seorang penguasa, selain ditentukan oleh faktor genealogis (darah biru atau bukan) juga ditentukan oleh penguasaan tokoh tersebut terhadap sumber daya alam dan manusia. Gabungan sumber daya manusia dan sumber daya alam kemudian dikenal sebagai wilayah kekuasaan.Â
Namun kedua hal tersebut belum cukup, seorang penguasa harus mendapatkan restu dari "langit" berupa pulung atau wahyu cakraningrat karena seorang penguasa dianggap sebagai penghubung utama antara dunia manusia dan penguasa di langit.
Seorang Ken Arok yang tidak memiliki darah biru, paling tidak menurut sebagian orang, relatif tidak mendapat kendala ketika mengambil alih kekuasaan dan kemudian mendirikan Singhasari karena yang bersangkutan dipercaya memiliki pulung tersebut dan ketika yang bersangkutan membunuh Tunggul Ametung dan memperistri Ken Dedes, pulung yang juga ada pada diri Ken Dedes kemudian bersatu pada sosok Ken Arok.
Kembali ke ritual upacara.
Upacara dalam praktik kekuasaan kemudian berkembang dari semula merupakan domain keagamaan menjadi salah satu bentuk ekspresi atau artikulasi kekuasaan seorang raja yang telah menggenggam restu dari langit.
Melalui upacara-lah seorang raja atau penguasa menunjukkan kepada rakyat seberapa berkuasanya dia. Berapa banyak rakyat yang hadir, berapa banyak utusan wilayah taklukan yang datang membawa upeti, berapa utusan dari negara sahabat yang hadir dan seberapa megah sebuah upacara berlangsung semuanya merupakan indikator seberapa berkuasa atau berpengaruhnya seorang penguasa.
Seberapa melarat rakyat di pelosok-pelosok kekuasaan seorang raja tidak terlalu penting, karena yang penting dilihat adalah seberapa sukses dan megah sebuah upacara berlangsung. Bagaimana kalau masih ada rakyat yang ternyata tidak sejahtera?Â