Menurut Kotler dan Levy (1969) yang dikutip oleh Fiona McLean dalam Marketing the Museum (2003), museum merupakan hal yang berbeda bagi orang yang berbeda, dia bukan entitas yang berdiri sendiri melainkan sesuatu yang mengabadikan keragaman nilai, citra dan sikap.
Tanyakan kepada generasi muda yang sedang duduk di bangku sekolah, atau orang tuanya, apakah mereka punya cita-cita untuk bekerja di museum? Sepertinya kita tidak akan menemukan kurator, misalnya, dalam daftar urutan cita-cita mereka. Ada banyak profesi lain yang dianggap lebih bergengsi untuk dikejar dan bahkan ada orang tua yang rela membayar uang pelican untuk itu.
Namun generasi muda yang sama juga yang akan mencibir kenapa pemerintah sering tidak berpihak kepada museum. Sebagian orang tua dari mereka juga yang sering menggugat agar pemerintah lebih memperhatikan koleksi dan tata tayang di museum bahkan untuk menyelamatkan artefak yang masih bertebaran di masyarakat.
Karenanya,
“......museum itu indah, membuat frustrasi, merangsang, menjengkelkan, berisi hal-hal yang mengerikan, membosankan seperti air cucian….”
tulis McLean dalam buku di atas.
Tapi nun jauh di pedalaman Pulau Sumbawa, nan menjulang tinggi rute perjalanan menyusuri punggung gunung untuk menjangkaunya, terdapat komunitas yang dengan antusias berbicara tentang keinginan mendirikan museum di desa mereka. Antusias dengan keyakinan bahwa sumber daya lokal yang mereka miliki akan memampukan mereka mengembangkan ekomuseum, istilah yang mereka pilih untuk konsep yang mereka gagas sendiri.
Karena definisi museum sendiri sering diperdebatkan dalam beragam konteks, maka tulisan ini juga tidak akan mendebatkan penggunaan istilah itu.
Komunitas yang penulis maksud di atas adalah masyarakat Desa Batu Rotok, Kecamatan Batu Lanteh, Sumbawa di Nusa Tenggara Barat.
Apa pasal yang membawa kami ke atap Pulau Sumbawa itu?