Pesta demokrasi lokal mulai memasuki tahapan yang akan semakin mengerucutkan preferensi pemilih. Riuh rendah siapa yang mendapat penetapan sebagai kandidat sudah berlalu.Â
Silang pendapat tentang layak-tidaknya seseorang atau dua orang menjadi kandidat sudah terlewati. Demikian pula pertanyaan kenapa partai tertentu mendukung kandidat tertentu dan kenapa ada kandidat yang tidak berhasil memperoleh dukungan partai juga sudah usai.
Penetapan calon dan diikuti dengan pengundian nomor berarti menu pilihan yang disediakan penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), sudah dinyatakan lengkap. Tinggal dipilih dari daftar dan urutan yang tercantum dalam surat suara nantinya.
Apakah Anda sudah menjatuhkan pilihan dalam hati? Apakah Anda sudah menentukan pilihan yang akan anda pertahankan sampai saat pencoblosan nanti? Atau barangkali anda menjadi bagian dari tim yang akan mengerahkan segala cara untuk memenangkan kandidat anda?
Akumulasi pengalaman, ekspektasi terhadap keluaran Pilkada dan keluasan wawasan dan pengetahuan akan menentukan penyikapan Saya dan Anda hari ini dan ke depan. Sikap terhadap proses dan harapan terhadap hasil. Pilihan terserah kepada anda.
Tulisan ini menyasar kepada mereka yang ingin terlepas dari perangkap, ups bukan perangkap tapi lebih tepat mungkin disebut strategi pemenangan kandidat. Memenangkan kandidat adalah hak mereka dan berjuang untuk itu adalah konsekuensi dari pilihan itu.
Di sisi lain menjatuhkan pilihan dengan tenang adalah juga pilihan proses bagi sebagian orang. Perihal siapa yang akan memenangkan pertarungan itu soal lain.
Tapi pernahkan anda menyadari kesesuaian, atau ketidaksesuaian, antara diksi pesta demokrasi dengan fakta akan adanya pemenang nantinya? Ya, pesta kok ada yang menang dan lebih banyak yang kalah?
Ketika Saya dan Anda terbawa dalam ritme bahwa akan ada satu yang menang dan lebih banyak yang kalah, tentu saja pikiran dan perasaan akan terkondisikan untuk mendeteksi seperti apa keadaan pasca pemenang mengambil semua haknya kelak. Untungkah atau buntungkah?
Bagi mereka yang berprofesi sebagai ASN, kecemasan itu sedikit terlindungi dengan regulasi yang mengharuskan ASN bersikap netral.
Kenapa saya menyebut sedikit? Karena apa yang tertuang dalam regulasi terkadang menghadirkan ketidakteraturan (irregularity) penerjemahan. Kenapa hal ini terjadi, baca di sini.
Sejenak coba kita lebih menaruh prasangka baik kepada pilkada sebagai pesta demokrasi.
Layaknya sebuah pesta, akan ada banyak menu yang disediakan, dan banyak pula hidangan yang disajikan. Memanjakan mata, melenakan pikiran dan menenangkan harapan seperti itulah semua dihamparkan di hadapan kita.
Tapi pernahkah mendengar ungkapan bahwa banyak pilihan kadang berarti tidak ada pilihan? Atau pernah mengalami kejadian gegara mencari tempat makan yang cocok akhirnya kita menghabiskan waktu hanya untuk menelusuri jalan menengok warung demi warung, menilai restoran demi restoran dan mempertimbangkan lapak demi lapak yang semuanya dilakukan dari dalam kendaraan. Dan akhirnya pilihan jatuh pada sisa tempat makan yang ada karena lapar tak tertahankan lagi.
Menurut para ahli, peristiwa seperti itu terjadi karena kita tidak menentukan kriteria dari awal. Kriteria berkembang seiring tawaran yang tersaji. Cara memilih berubah menyesuaikan suasana lingkungan sekitar. Dan banyak lagi hal yang terkadang tidak masuk dalam kriteria awal atau karena memang tidak ada kriteria sedari awal.
Demikian pula dalam menentukan pilihan dalam Pilkada nanti, apakah anda sudah punya kriteria yang disadari dan diyakini dengan baik sedari awal? Dalam sebuah pesta yang menyajikan banyak ragam pilihan makanan, penderita penyakit tertentu seyogianya sudah memiliki daftar pantangan dan daftar yang disarankan. Penganut gaya hidup tertentu akan membekali diri dengan pedoman menentukan pilihan. Tanpa kriteria semacam itu maka tidak tertutup kemungkinan sehabis menghadiri pesta justru petaka yang menerpa.
Sebagai tamu dalam jamuan pesta (demokrasi), Saya memilih untuk menilai sajian dari 3 (tiga) aspek.
Ketiga hal tersebut yakni Aspek Pertama adalah pemahaman kandidat terhadap konteks setiap isu dan masalah yang saya anggap penting.
Aspek Kedua adalah pemahaman kandidat tehadap aspek isi atau substansi dari persoalan yang mengemuka di masyarakat. Dan terakhir Aspek Ketiga, yaitu pengenalan kandidat terhadap aspek proses.
Dalam setiap kebijakan publik, setiap orang akan berada dalam segitiga tersebut. Kecenderungan mendekat ke salah satu sudut, menepi ke salah satu sisi (sisi adalah garis yang menghubungkan dua titik) atau bahkan berada persis di titik berat segitiga menggambarkan apa bahan dari menu yang disajikannya.
Condong ke sudut konteks berarti yang bersangkutan memahami perkembangan isu mutakhir dan memiliki keinginan untuk memberi sumbangan terhadap penyelesaian isu tersebut. Dekat ke sisi konten menunjukkan pengetahuan yang bersangkutan dalam menangani langsung suatu permasalahan.
Adapun mereka yang dekat ke sisi proses menggambarkan kesadaran yang bersangkutan bahwa penyelesaian sesuatu masalah merupakan rangkaian tindakan dari sejumlah pihak yang bisa jadi tidak semuanya akan bisa dikendalikan.
Bagaimana contohnya?
Ambil saja isu stunting yang menurut Unicef negara kita adalah salah satu negara dengan beban stunting dan wasting pada anak yang tertinggi di dunia. Mengutip dari laman katadata, ternyata 1 dari 4 balita Indonesia mengalami stunting.
Dari data tersebut, mereka yang condong ke isu konteks akan menguraikan dampak dari stunting dalam perspektif dunia. Gambaran skala nasional dan dunia pada konteks pilkada akan dielaborasi sembari memaparkan dampak buruk dari stunting di masa depan.
Perspektif konteks yang sama bisa juga ada yang sebaliknya memandang bahwa itu hanya isu global, buktinya memang dari dulu-dulu tinggi badan penduduk kita tidaklah tinggi, Habibie dan Jusuf Kalla pun tidak lah memiliki tinggi badan seperti keturunan Eropa.
Adapun mereka yang condong ke perspektif proses dengan segera akan menguraikan bukti lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan mulai dari tingkat nasional sampai ke tingkat desa dan keluarga.
Bagaimana dengan yang condong ke aspek substansi? Kelompok ini dengan segera mengeluarkan khazanah pengetahuan medisnya untuk menawarkan solusi langsung yang menyasar orang tua, anak dan keluarga stunting.
Penulis tidak akan membahas seputar stunting, karena yang ingin disampaikan adalah perbedaan posisi dan perspektif dalam memandang suatu isu akan memberikan gagasan atau solusi yang berbeda. Idealnya tentu saja kalau kandidat mampu menempatkan diri pada titik berat segitiga yang berarti ketiga hal tersebut difahami dan dikuasai dengan seimbang sehingga ketika memiliki takdir untuk menjadi pemenang akan memiliki kemampuan untuk mengelola semua potensi secara berimbang.
Sebagai tamu dalam pesta demokrasi, dengan cara demikian kita bisa menilai kandidat dalam beragam isu. Kapasitas, kualitas dan kompetensi kandidat dapat dengan lebih mudah kita nilai.
Tolok ukur penilaiannya apa?
Hal ini akan kembali kepada kecenderungan kita sebagai pemilih, apakah kita peduli terhadap suatu isu tertentu dan apakah kita memiliki preferensi dan harapan langkah yang diambil untuk mengatasi masalah tertentu tersebut?
Bagaimana kalau memilih hanya berdasarkan kedekatan emosional dan personal? Tidak ada yang akan menyalahkan pilihan itu. Namanya juga hak pilih. Bagi pemilih dengan posisi sikap seperti ini, sesungguhnya tahapan debat kandidat, pemaparan visi-misi dan tawaran program bukan sesuatu yang penting.
Maksud dari tulisan ini adalah bagi kelompok yang ingin dianggap atau merasa cerdas dalam memilih dan sampai saat ini belum menentukan pilihan, pengamat menyebutnya sebagai swing voters, sehingga akan menjadi target pemasaran janji-janji politik dalam rangkaian kampanye.
Memilih mengandung arti menentukan suatu sikap dan tindakan atas ragam alternatif. Jauh dalam hati ada harapan atas konsekuensi dari sebuah pilihan. Penjatuhan pilihan di bilik suara adalah langkah akhir dalam memilih alternatif konsekeunsi itu.
Apakah akan memilih kandidat yang piawai menjelaskan ragam isu global dan nasional tapi tak menyakinkan dalam merumuskan langkah penyelesaian masalah? Atau memilih kandidat yang mampu merangkul semua pihak tak peduli seberapa penting isu dan masalah tersebut sebenarnya di tingkat lokal dan bagaimana teknisnya dilakukan nanti.
Atau bisa juga memilih kandidat yang mumpuni secara teknis tapi, sebagaimana sering terjadi pada kelompok spesialis, sering tidak mampu memahami lingkungan di mana semua masalah itu berakar dan seperti apa dampak luasnya dari suatu tindakan tertentu.
Mencari kandidat yang piawai dalam ketiga aspek tersebut akan memberi harapan bahwa tidak akan ada sikap lempar tanggung jawab kelak ketika yang bersangkutan menjadi pemimpin dan penentu kebijakan.
Apa yang disebut rasional sebenarnya adalah kesesuaian antara tujuan dan cara. Saat kita ingin disebut sebagai pemilih rasional maka kita akan mampu melihat dan melakukan pembandingan antara apa yang dijanjikan (tujuan) dan apa yang akan dilakukan (cara). Saat kita ingin disebut pemilih cerdas maka kita akan mampu meletakkan figur seorang kandidat pada perspektif yang tepat.
Kalau tidak? Saya dan Anda jangan-jangan sebenarnya termasuk kelompok pemilih tradisional yang bergantung pada pendekatan paternalistik dan kedekatan emosional.
Sekali lagi, rasional-cerdas atau tradisional tidak ada yang salah, keduanya adalah hak. Hak menentukan kriteria dan hak untuk memilih. Meski akan ada pemenang di ujungnya, proses pemilihan pemimpin dewasa ini adalah pesta. Mau berpesta dalam proses dan tahapan atau mau berpesta di ujung, pilihan kembali pada diri kita sendiri. Termasuk menyimak debat kandidat yang diagendakan oleh KPU, adalah hak kita memberi nilai penampilan semua kandidat. Soal pilihan di bilik suara? Lembaga survey pun terkadang salah memprediksi.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H