Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Menjadi Pemilih Cerdas dalam Pilkada 2020

27 Oktober 2020   12:38 Diperbarui: 28 Oktober 2020   09:32 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana kalau memilih hanya berdasarkan kedekatan emosional dan personal? Tidak ada yang akan menyalahkan pilihan itu. Namanya juga hak pilih. Bagi pemilih dengan posisi sikap seperti ini, sesungguhnya tahapan debat kandidat, pemaparan visi-misi dan tawaran program bukan sesuatu yang penting.

Maksud dari tulisan ini adalah bagi kelompok yang ingin dianggap atau merasa cerdas dalam memilih dan sampai saat ini belum menentukan pilihan, pengamat menyebutnya sebagai swing voters, sehingga akan menjadi target pemasaran janji-janji politik dalam rangkaian kampanye.

Memilih mengandung arti menentukan suatu sikap dan tindakan atas ragam alternatif. Jauh dalam hati ada harapan atas konsekuensi dari sebuah pilihan. Penjatuhan pilihan di bilik suara adalah langkah akhir dalam memilih alternatif konsekeunsi itu.

Apakah akan memilih kandidat yang piawai menjelaskan ragam isu global dan nasional tapi tak menyakinkan dalam merumuskan langkah penyelesaian masalah? Atau memilih kandidat yang mampu merangkul semua pihak tak peduli seberapa penting isu dan masalah tersebut sebenarnya di tingkat lokal dan bagaimana teknisnya dilakukan nanti.

Atau bisa juga memilih kandidat yang mumpuni secara teknis tapi, sebagaimana sering terjadi pada kelompok spesialis, sering tidak mampu memahami lingkungan di mana semua masalah itu berakar dan seperti apa dampak luasnya dari suatu tindakan tertentu.

Mencari kandidat yang piawai dalam ketiga aspek tersebut akan memberi harapan bahwa tidak akan ada sikap lempar tanggung jawab kelak ketika yang bersangkutan menjadi pemimpin dan penentu kebijakan.

Apa yang disebut rasional sebenarnya adalah kesesuaian antara tujuan dan cara. Saat kita ingin disebut sebagai pemilih rasional maka kita akan mampu melihat dan melakukan pembandingan antara apa yang dijanjikan (tujuan) dan apa yang akan dilakukan (cara). Saat kita ingin disebut pemilih cerdas maka kita akan mampu meletakkan figur seorang kandidat pada perspektif yang tepat.

Kalau tidak? Saya dan Anda jangan-jangan sebenarnya termasuk kelompok pemilih tradisional yang bergantung pada pendekatan paternalistik dan kedekatan emosional.

Sekali lagi, rasional-cerdas atau tradisional tidak ada yang salah, keduanya adalah hak. Hak menentukan kriteria dan hak untuk memilih. Meski akan ada pemenang di ujungnya, proses pemilihan pemimpin dewasa ini adalah pesta. Mau berpesta dalam proses dan tahapan atau mau berpesta di ujung, pilihan kembali pada diri kita sendiri. Termasuk menyimak debat kandidat yang diagendakan oleh KPU, adalah hak kita memberi nilai penampilan semua kandidat. Soal pilihan di bilik suara? Lembaga survey pun terkadang salah memprediksi.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun