Sejarah juga mencatat bahwa Arung Palakka, yang dikejar oleh pasukan Gowa, kemudian mencari bantuan mulai dari Buton, Bima, Sumbawa, Lombok dan Bali/Buleleng namun semua kerajaan itu tidak menyanggupi permintaan La Tenri Tatta untuk mengangkat senjata melawan Gowa.Â
Pengembaraan Arung Palakka menemui titik terang di Batavia, VOC siap membantu melawan Gowa karena VOC sendiri memiliki kepentingan untuk mematahkan dominasi Gowa dalam perdagangan dan pelayaran di Timur Nusantara.Â
Muara Sungai Angke menjadi wilayah yang disediakan Belanda untuk dijadikan tempat bermukim orang-orang Bugis yang ikut bersama Arung Palakka sehingga mereka disebut sebagai To Ugi Angke (orang Bugis Angke).
Setelah melalui periode pemanasan atau uji coba melalui penaklukan Pariaman di Sumatera Barat, Arung Palakka yang disokong VOC akhirnya berhasil meruntuhkan Gowa.Â
Sejarah tentang episode perang ini cukup banyak diceritakan dalam sejarah resmi namun sayangnya tetap dengan perspektif hitam-putih Indonesia melawan Belanda. Arung Palakka karena beraliansi lalu ditempatkan di sisi Belanda dan Gowa dengan Sultan Hasanuddin berada di sisi Indonesia.
Apa yang terjadi setelah kekalahan Gowa tidak banyak diuraikan dalam sejarah formal. Gowa yang takluk nyatanya tidak dibumihanguskan oleh Arung Palakka dan pasukan Bugisnya. Sultan Hasanuddin tidak diperlakukan sebagai taklukan. Laiknya pemenang perang, tidak akan ada yang memprotes kalau Arung Palakka melakukan hal tersebut.Â
Rupanya bagi Arung Palakka kepentingan menegakkan kembali harga diri (Siri') orang Bugis sudah tercapai maka perang dan tindakan lanjutannya tidak diperlukan lagi. Bugis berdiri sama tinggi dengan Gowa sudah cukup untuk meneguhkan eksistensi.
Lalu apa warisan Arung Palakka bagi generasi penerusnya sampai hari ini?
Alih-alih menganggap Gowa dan aliansinya sebagai musuh bebuyutan yang harus dibumihanguskan, beliau justru mendorong konsolidasi kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan untuk mengakhiri peperangan demi peperangan yang sering terjadi di antara kerajaan-kerajaan lokal.Â
Langkah fundamental beliau adalah mendorong keponakannya La Patau Matanna Tikka untuk kawin dengan cucu Sultan Hasanuddin. La Patau yang kemudian menggantikan Arung Palakka menjadi Raja Bone adalah menantu Raja Gowa I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil.Â
Ikatan perkawinan sebelumnya juga dilakukan La Patau dengan Luwu. Langka konsolidasi Gowa-Bone-Luwu melalui ikatan perkawinan ini dikenal sebagai Tellue Cappagala (tiga kerajaan).