Setelah berhasil mengalahkan Gowa, Petta Malampe'e Gemme'na alias Arung Palakka menemui Raja Bone. Saat itu Bone menjadi kerajaan Palili (bawahan) Gowa dan raja memerintah yang diangkat oleh Gowa adalah La Maddaremmeng. Raja yang memiliki nama anumerta Matinroe ri Bukaka (Yang Bersemayam di Bukaka) itu seketika menyodorkan mahkota Bone kepada La Tenri Tatta (nama lain Arung Palakka).
Sebagai pemimpin yang berhasil mempersatukan semangat dan kekuatan orang-orang Bugis, khususnya Bone, Arung Palakka memang memanfaatkan dukungan dari Kompeni untuk mematahkan hegemoni Gowa-Tallo yang saat itu bahkan Kompeni sendiri pun tak mampu melakukannya.Â
Keberhasilan itu yang membuat Raja Bone yang saat itu memerintah, La Maddaremmeng menyadari bahwa Arung Palakka seturut kemenangan perangnya melawan Sultan Hasanuddin sudah berhasil memenangkan hati rakyat Bone dan sekaligus mendapatkan legitimasi dari Pemerintah Belanda.Â
Dengan fakta tersebut menjadi wajar apabila La Maddaremmeng lalu menyerahkan mahkota Bone kepada Aru Palakka. Nyatanya Petta Mallampe'e Gemme'na menolak mahkota Bone itu dan mempersilahkan La Maddaremmeng tetap menjadi raja yang memerintah Bone.
Peristiwa ini dicatat dalam naskah Lontara Sakke Atturiolong Bone. Transliterasi yang dilakukan oleh Muhlis Hadrawi et.al (2020) terhadap naskah Lontara Sakke membuka ruang bagi publik yang tidak memiliki kompetensi menerjemahkan Lontara langsung dari naskah aslinya untuk mengetahui jejak sejarah Kerajaan Bugis utama di Nusantara itu sejak berdirinya di abad 13, menapaki perkembangan dan lalu memasuki periode lahirnya Republik Indonesia di pertengahan abad 20.
Arung Palakka adalah salah satu tokoh dalam sejarah Nusantara yang sering dipersepsikan secara kurang proporsional. Kolaborasinya dengan VOC melawan Kerajaan Gowa umumnya dilihat hitam-putih sehingga beliau yang berada di sisi yang berseberangan dengan Sultan Hasanuddin diterjemahkan langsung dengan cara pandang sisi baik-sisi jahat.Â
Jadilah Arung Palakka di sisi hitam sejarah nasional karena Sultan Hasanuddin sang Raja Gowa sudah berada di sisi putih, sisi yang mendapat gelar Pahlawan Nasional. Logika liniernya lawan putih ya pastilah hitam. Lawan seorang pejuang kemerdekaan tentulah seorang yang mendukung penjajah.
Simplifikasi nirkonteks dan interpretasi sempit sering terjadi dalam penuturan sejarah terlebih dalam masyarakat yang tidak memiliki tradisi literasi yang kuat.
Bahkan dunia pendidikan tanpa sadar juga ikut memperkuat cara bernalar sempit itu. Tak heran Paulo Freire menyebut bahwa lembaga pendidikan lebih sering berperan sebagai agen dalam produksi hegemoni dan kemapanan struktur yang ada.
Struktur mapan dalam hal ini dapat berbentuk kekuasaan, ideologi atau bahkan rezim penguasa. Pengajaran sejarah bersilang-sengkarut dan berkelindan dengan upaya indoktrinasi melalui penuturan yang berpusat pada tokoh yang diberi label pahlawan.Â
Tentu saja mudah menghembuskan semangat heroik apabila dalam suatu pertarungan politik, yang seringkali sebenarnya memiliki akar sosial budaya dan ekonomi yang rumit, dipilih tokoh atau fokus yang mudah dinarasikan secara diametral dengan pihak lawan di sisi sebelahnya.