Kami yang sesekali masih menyeruput kopi sachet-an mungkin belum terlalu fasih membedakannya. Namun sensasi rasa kopi, tanpa gula, yang fresh masih dapat kami rasakan.
Beda kopi sachet-an dengan kopi yang betul-betul kopi mulai terasa apalagi tanpa imbuhan gula. Pelan-pelan rasa yang menjadi ciri kopi sesuai dengan karakteristik lingkungan dimana kopi tumbuh dikenali lidah.
Rasa asam dari kopi arabika, rasa strong dan bold dari kopi robusta juga perlahan-lahan menghadirkan sensasi rasa manis di lidah. Tentu bukan sekuat rasa manis dari gula. Mau minum kopi atau minum gula?
Sang Barissta selain menyajikan kopi dengan teknik flat bottom juga dengan teknik aeropress.
Belum puas dengan hanya menampilkan ragam cara penyajian kopi, Pak Hamsi dan Mas Gatot menawarkan kami mencoba kopi lanang (peaberry coffee).
Bagi yang belum mengenal peaberry coffe, kopi lanang adalah kopi yang dianggap “produk gagal” karena tidak seperti kopi normal yang bijinya berbelah, kopi lanang tidak membelah sehingga bentuknya cenderung bulat dan ukurannya agak kecil dari kopi biasa.
Jumlah biji kopi yang menjadi kopi lanang biasanya tidak banyak, namanya juga produk gagal, sehingga dalam sekali produksi mungkin hanya 5% dari keseluruhan biji kopi.
Antusiasnya Sang Barrista, kami kemudian ditawari wine coffe. Dari namanya mungkin ada yang menganggap kopi jenis ini berasal dari buah anggur, tapi sebenarnya penamaan wine coffe, apapun jenis kopinya, berasal dari proses pengeringan yang lebih lama dibanding kopi biasa.
Di Dusun Punik ini, wine coffe umumnya diperam (difermentasi) sekitar 1 (satu) sampai 2 (dua) bulan. Lama dikeringkan inilah yang membuat proses fermentasi biji kopi berjalan maksimal.
Ketika dinikmati, wine coffe tidak lagi terlalu dominan rasa strong dari kopinya, justru sensasi semacam rasa anggurlah yang muncul. Dan tentu saja bagi yang muslim tetap memenuhi kriteria halal.