Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Cari Ide Menulis? Cobalah Mengulas Sejarah

4 Juni 2020   20:48 Diperbarui: 7 Juni 2020   10:25 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah mengalami kesulitan saat Pelajaran Bahasa Indonesia diminta membuat karangan? Tidak tahu menulis apa, memulainya bagaimana dan apa jenis karangannya. 

Sebaliknya saat Pelajaran Sains ketika diminta menjelaskan tentang suatu konsep, malah keahlian mengarang indah muncul! Ulangan atau ujian matematika atau fisika pun bisa menghadirkan sosok pengarang.

Aneh tapi nyata ketika diminta mengarang malah kesulitan menulis satu kalimat pun, namun saat tidak diminta mengarang malah karangan yang muncul. Saya pernah mengalaminya, bahkan sering melakukannya saat di bangku sekolah dulu, he he.

Saat ini ketika ada yang merasa bahwa menulis itu sulit, terkadang saya juga bingung. Ketika media sosial dan internet sudah menjadi hal yang lumrah dewasa ini, aktifitas menulis sebenarnya sangat sering kita lakukan, paling tidak memberi komen atau perbaharui status.

Sering tanpa sadar maupun karena dipaksa keadaan untuk merespons status mutakhir medsos seorang rekan atau rival (he he) kita lalu menulis. Lupa diri bahwa ketika Guru Bahasa Indonesia, Ekonomi atau Sejarah memberi tugas untuk menyusun karangan singkat, penyakit hilang ingatan sesaat itu sering muncul lagi!

Jadi kalau dipikir masalah sebenarnya ada pada respon terhadap kebutuhan. Tugas mengarang langsung menggiring pikiran kita untuk membayangkan artikel yang rapi, runtut (selaras atau bersesuaian) dan runut (alurnya jelas).

Bayangan tersebut sering membatasi kebebasan dan lalu tanpa sadar kita menarik diri karena merasa belum mampu untuk mengikuti pola tersebut.

Pada saat lain kita sering merasa atau ingin agar pikiran kita dapat difahami orang lain. Kita juga terkadang iri dengan rekan yang namanya gampang di-search di mesin pencari seperti Google misalnya. Jejak digitalnya kok banyak, dia tenar karena namanya banyak muncul di Google munken demikian gumam dalam hati.

Sebenarnya banyak artikel dan buku yang memberi saran dan trik bermanfaat perihal teknik menulis yang baik. Sebut saja buku lawas dari Arswendo Atmowiloto yang berjudul Mengarang itu Gampang atau yang lebih serius isinya buku Bambang Trim yang berjudul Menulispedia: Panduan Menulis untuk Mereka yang Insaf Menulis.

Eits, bukan berarti buku Arswendo itu tidak serius lho! Memang judulnya begitu, jadi terkesan kok tidak serius karena menggampangkan. Silancar lebih banyak di dunia maya maka kita akan temukan lebih "buuaanyaaak" lagi artikel atau blog yang mengupas hal serupa.

Karena sudah banyak yang ahli tentang tulis-menulis itu, dan saya juga belajar dari mereka, maka saya tidak akan menambahi garam lagi sajian masakan dari koki-koki yang sudah mumpuni itu.

Saya hanya akan menawarkan jawaban pertanyaan "menulis tentang apa" dan bagaimana agar menulis bisa membantu menjadi bahan contekan yang cerdas, he he.

Tentu saja bukan tulisan di kertas kecil dan panjang yang bisa disimpan di lipatan baju. Ini pengalaman pribadi saat ponsel dan sejenisnya belum lahir. Maafkan kami wahai para guru.

Tema yang relatif luas untuk memulai menulis menurut saya adalah seputar sejarah. Menulis seputar sejarah tidak beda dengan bercerita. Coba perhatikan kata sejarah dalam Bahasa Inggris yaitu "history". Bukankah ada kata "story" di situ? Story alias cerita. Kita semua pernah atau sering bercerita. Tinggal menjadikannya dalam bentuk tertulis.

Terasa berat? Ya akan terlihat berat kalau menulis sejarah sambil membayangkan sosok ahli-ahli sejarah yang tenar seperti Anhar Gonggong, JJ Rizal, AB Lapian atau Ong Hok Ham untuk menyebut beberapa nama. Mereka sih sudah punya jam terbang yang sangat tinggi.

Tidak, atau paling tidak belum, seperti mereka.

Saya menawarkan untuk menulis sejarah seputar hal-hal yang dekat di sekitar kita. Istilahnya "Nearby History", mengutip judul buku dari David E. Kyvig dan Myron A. Marty yaitu "Nearby History, Exploring the Past Around You" yang terbit tahun 2010.

Menurut mereka, sederhana saja, kita perlu tahu siapa kita sebenarnya, kenapa kita menjadi seperti sekarang ini dan bagaimana menghadapi situasi sekarang untuk menjalani hidup dengan sukses ke depannya.

Maksudnya? Sederhananya kira-kira begini.

Mengambil contoh dari keluarga atau orang tua, kita bisa menelusuri sejak kapan keluarga kita tinggal di tempat yang kita tinggali sekarang.

Kalau orang tua kita adalah petani, maka menarik untuk menelusuri seperti apa hidup sebagai petani pada jaman dahulu ketika belum banyak mekanisasi pertanian misalnya.

Dari sudut ini cerita bisa mengalir jauh seputar pertanian, tentang sosiologi, tentang budaya agraris setempat. Tentu ceritanya bisa ditarik dari jaman atau tahun seberapa kita mampu mengumpulkan informasi.

Apalagi kalau ternyata leluhur kita pendatang misalnya, maka aspek geografi yang menceritakan kenapa mereka dulu mau pindah itu sudah bisa menjadi cerita tersendiri.

Apakah itu bisa disebut sejarah?

Tentu saja bisa kalau cerita/tulisan yang kita susun memberi informasi yang cukup tentang periode atau penjelasan tentang waktu kejadian dari setiap perubahan yang terjadi. Tambahkan sumber rujukan, itu sudah bisa memenuhi kaidah untuk menjadi kajian selanjutnya.

Jangan dikira semua yang ditulis orang tentang sesuatu peristiwa tertentu pasti benar! Kekuatan dokumentasi dan bukti lah yang menjadi penentu kalau mau diteruskan menjadi kajian sejarah dan itu biasanya akan dilakukan dan dipertajam oleh orang lain.

Perhatikan mitos atau legenda yang berkembang dalam masyarakat dan dituturkan turun-temurun sehingga sering dipandang sebagai bagian dari sejarah lokal. Sumber informasi seperti ini sering disebut sebagai "oral history" yaitu sejarah yang dituturkan secara lisan dan hidup dalam memori masyarakat.

Mau lebih spesifik lagi karena bukti, akademisi dan praktisi sering menyebutnya artefak, yang ada hanya alat bajak tradisional sederhana misalnya?

Apalagi kalau alat bajaknya sudah tidak utuh dan tidak bisa dipakai karena sekarang keluarga kita sudah menggunakan traktor untuk membajak sawah. Perubahan dari bajak tradisional plus kerbau menjadi traktor itu pun sudah bisa menjadi bahan tulisan.

Bayangkan kalau kita berhasil menyusun silsilah keluarga yang lengkap dengan penjelasan tentang pekerjaan masing-masing nama yang muncul dalam silsilah tersebut.

Siapa tahu dalam silsilah keluarga ternyata dulu pernah ada yang menjadi kepala desa, menjadi penghulu adat, pengatur pembagian air di sawah-sawah masyarakat atau bahkan mungkin pangeran!

Sistem Subak di Bali yang sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dunia oleh UNESCO juga didukung oleh dokumentasi, kisah dan penjelasan rinci dari warga petani di Bali yang menerapkannya atau informasi dari leluhur mereka yang pernah menerapkannya dahulu.

"Selalu ada sejarah dalam kehidupan manusia", kata William Shakespeare sastrawan Inggris legendaris.

Ketimbang sulit merangkai tulisan kalau berangkat dari tema yang berat-berat seperti filsafat, politik, kebudayaan dan sejenisnya, kenapa tidak berangkat dari sejarah yang dekat kita, seperti judul buku yang saya sitir di atas?

Justru dari tema yang dekat, sumber sejarah yang ada di sekitar kita, bahasan yang nyerempet-nyerempet hal berat seperti kebudayaan dapat kita sisipkan, sehingga konteks belajar sosiologi misalnya diperoleh sekaligus.

Keberhasilan menempatkan pendekatan budaya dalam menceritakan perubahan kehidupan petani, contoh di atas, bukankah sudah menjadi pendalaman pengenalan konsep kebudayaan?

Atau pengenalan musim dalam pola tanam pertanian itu sudah jadi contekan untuk pelajaran sosiologi, siklus ekonomi dan geografi misalnya. Bukan karena lingkup yang kita tulis kecil atau pelakunya bukan orang terkenal lalu tulisan jadi tidak bernilai!

Justru masa lalu kita sendiri dan narasi tentang orang yang dekat dengan kita, keluarga atau lingkungan sekitar, sebenarnya punya dampak besar terhadap hidup kita sekarang, baik disadari atau tidak. Memelajarinya membuat kita memiliki memori yang kuat dan belajar dari memori itu akan membantu dalam langkah kita ke depan.

Tentu saja agar memori tersebut tidak berserakan dan berterbangan akan lebih baik dan lebih bermanfaat kalau ditulis. Dalam tulisan itulah contekan dari pelajaran yang kita dapat dari sekolah dapat disisipkan. Peribahasa lama mengatakan membaca dapat memperluas pengetahuan, tapi tulislah agar pengetahuan itu dapat kita ikat dengan kuat.

Ya, contekan yang saya maksudkan tadi adalah mengenali kata kunci yang selanjutnya karena sudah pernah kita kupas dan tulis pasti gampang diuraikan kembali kalau ada tugas mengarang di sekolah.

Kembali ke tawaran tema sejarah.

Beberapa hal yang perlu jadi perhatian adalah ketelitian mengumpulkan data, informasi dan dokumentasi yang relevan. Tidak masalah pada banyak atau sedikitnya. Kesesuaian dengan apa yang akan kita tulislah yang menjadi ukuran.

Hati-hati ketika menyusunnya atau dalam istilah ilmu sejarah luangkan waktu dan perhatian untuk melakukan kritik sumber. Bukan untuk menyalahkan si sumber tapi untuk memeriksa kesesuaian atau korelasi antara sumber informasi dengan jenis informasi yang diberikan.

Tentu tidak relevan seorang nelayan bercerita tentang pola tanam, apalagi praktik menanam di masa lalu. Tidak cocok juga menyandarkan analisa tentang praktik ibadah pada suatu masa dan kelompok masyarakat tertentu kepada orang yang tidak mengenal budaya dan kepercayaan setempat.

Kalau sudah lengkap siapa tokoh utama, apa saja yang dilakukan, kapan kejadiannya, di mana lokasi kejadian atau peristiwanya maka penjelasan tentang kenapa dan bagaimana nya itulah yang bisa dirangkai menjadi tulisan.

Dan sepanjang belum atau tidak ada tulisan dari orang lain tentang hal yang kita angkat bisa jadi penulis berikutnya akan merujuk ke tulisan kita. Meski nanti tulisan kita akan dikritik atau dibantah tapi yang jelas, merujuk ke tradisi akademik, tulisan dan nama kita akan dirujuk alias akan nampang di artikel orang selanjutnya.

Bagaimana dengan gaya menulis? Lupakan saja dahulu gaya menulis, yang penting ambil laptop lalu tuliskan kalimat demi kalimat dengan sabar.

Pilih kata demi kata yang bervariasi sambil sering-sering buka kamus, maka jadilah tulisan. Siapa tahu akan muncul tulisan sejarah sejak kapan Soto Banjar hadir di Jawa Timur, kenapa orang Jawa berani merantau dan menjual Soto Lamongan di Sumbawa, sejak kapan orang Bali bermigrasi ke Sumatera, kenapa masakan di Lombok identik dengan pedas, atau kenapa ada Kampung Makassar di beberapa tempat di Nusantara dan banyak lagi lainnya.

Kata history (sejarah) bisa dijabarkan sebagai his-story (kisah-nya), maka bercerita yang dilengkapi data yang cukup berarti menyusun narasi sejarah. Keren!

Selamat mengamati lingkungan terdekat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun