Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Small is Beautiful", Pesan Kehidupan dari Tomat Cherry

1 Juni 2020   11:48 Diperbarui: 1 Juni 2020   18:01 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kehidupan dari tomat cherry (Sumber: Pixabay.com)

Pagi ini, tidak seperti biasanya, di dapur tersedia buah tomat yang ukurannya kecil-kecil seperti buah bidara. Seketika saya tergerak untuk "turun tangan" di dapur, apalagi kalau bukan untuk mengulek buah kecil merah ranum itu menjadi sambal mentah. Ditambah cabai rawit yang juga merah merona jadilah sambal menemani ikan segar yang digoreng sebagai lauk sarapan pagi ini.

Sambil sarapan bersama, kami mengobrol ringan tentang buah, atau sayuran(?), yang terasa semakin langka diserbu tomat-tomat yang berukuran jumbo yang juga tampilannya menggoda. 

Cerita mengalir sampai ke percakapan singkat dengan si ibu penjualnya di pasar tradisional kemarin yang mengaku buah tomat cherry itu dipetik dari kebunnya langsung. Produksi lokal, sehingga jumlah tidak banyak karena memang tidak ditanam secara masif.

Salah satu ciri buah tomat cherry, paling tidak yang saya buat jadi sambal itu, selain rasanya yang cenderung manis adalah biji yang lumayan banyak di tiap butir buahnya. 

Ulekan saya tidak mampu melumatkan sampai ke biji-bijinya sehingga sajian sambal kami masih memerlihatkan dengan jelas taburan biji-biji tomat. Dibanding membuat sambal dengan tomat yang biasa dijual, yang besar-besar ukurannya itu, nyaris tanpa biji.

Nah melalui biji-biji tomat inilah, ditingkahi rasa pedas dari cabai rawit, sambil menikmati sarapan pagi dengan nasi pulen yang masih mengepul, pikiran saya terbawa sampai ke betapa berubahnya zaman sekarang.

Masa kanak-kanak dahulu adalah masa di mana urusan bahan untuk memasak dapur, khususnya yang berasal dari tumbuhan, begitu mudah dipetik di halaman belakang rumah. Dijamin fresh dan tanpa pestisida. 

Hanya mengeluarkan tenaga sedikit untuk memetiknya, lalu dicuci maka siaplah bahan ibu memasak bagi kami anak-anak. Tanpa prosesi ambil gambar untuk posting di medsos sebelum disantap, makan bersama adalah kenikmatan. Nikmat tanpa perlu pusing dengan tempat parkir atau menunggu pelayan datang menawarkan ragam menu di gerai-gerai ternama itu.

Ini mungkin bagian dari gaya hidup yang juga terus berubah.

Pikiran saya masih terus menerawang, membandingkan antara tomat kecil yang kaya biji dengan tomat raksana yang nyaris tanpa biji. 

Pakar dan ahli gizi sudah sering menyampaikan tentang khasiat buah-buah seperti tomat, yang kaya dengan beragam vitamin seperti Vitamin A, Vitamin B6, Vitamin C, Vitamin E, Vitamin K, Thiamin, Niacin, Folat, Magnesium, Kalium, Mangan, Fosfor dan Tembaga dan mineral. Tomat juga memiliki kandungan sodium, lemak jenuh dan kolesterol yang rendah.

Tetiba kemudian saya sampai pada pertanyaan kenapa nampaknya generasi hari ini rentan dengan penyakit? Pertanyaan ini muncul sambil saya menambah nasi ke dalam piring karena sambal mentah saya belum habis dan sensasi rasa pedasnya mulai meninggi.

Saya berasumsi jawabannya ada pada biji tomat tersebut.

Masih ingat pelajaran Biologi dulu yang mengajarkan bahwa salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak. Makhluk hidup memiliki mekanisme alami untuk mempertahankan hidup dan menjaga keberlanjutan spesiesnya masing-masing. 

Kuncinya ada pada pewarisan gen yaitu rangkaian protein yang memuat kode-kode tertentu yang pada kemunculan generasi berikutnya juga akan merepliksi kode tersebut dari pendahulunya. 

Demikian terus-menerus antar generasi, sehingga kita tidak akan menemukan tomat yang berubah menjadi cabai, sebagaimana manusia tidak akan berubah menjadi binatang. Kalaupun ada perubahan, mekanisme alami melalui mutasi gen lah yang menjadi penjelasannya. Perubahan karena intervensi manusia langsung pasti akan membawa dampak lain yang tidak alami lagi.

Beberapa tumbuhan memiliki mekanisme berkembang biak melalui biji. Seperti tomat, perkembanganbiakannya akan ditentukan oleh seberapa banyak biji tomat yang sampai ke tanah. Makhluk hidup lain seperti ayam menggunakan media telur untuk melakukan hal serupa.

Kalau kita menggunakan pendekatan antar generasi seperti itu, maka bayangkan seperti apa tomat yang tidak memiliki biji berkembang biak? Atau sebaliknya, keberlanjutan kehidupan ayam yang mana yang dijamin oleh telur yang selama ini kita konsumsi yang tidak akan pernah menetas kalau dibiarkan atau dieramkan itu?

Ternyata dari sambal mentah, saya memperoleh pelajaran penting tentang eksistensi kehidupan. Tomat cherry yang manis dalam sambal mentah saya itu ternyata kaya dengan pesan kehidupan, karena melalui biji-bijinya dia sesungguhnya sedang menyiapkan kehidupan generasi penerusnya. Bijinya menbawa spirit. Silahkan terjemahkan spirit sebagai semangat, namun spirit juga sering diterjemahkan sebagai ruh.

Tomat kecil itu rasanya sedang menyindir saya. Sekalipun tomat yang besar-besar di luar sana yang harganya murah itu juga menjanjikan banyak kandungan vitamin, namun sejatinya dia tidak membawa pesan kehidupan apa-apa. 

Rasa yang agak tawar mungkin bisa ditoleransi, tapi pertanyaan pesan kehidupan apa yang sedang dibawa oleh tomat besar-besar itu terus-terang sulit saya jawab. 

Pertanyaan yang sama juga berkembang perihal kehidupan apa yang sedang dijaga oleh telur-telur ayam dari peternakan masif yang setiap harinya beribu-ribu dijejalkan ke pasar dan sampai ke meja dapur kita? Demikin pula daging ayam yang kita konsumsi dari ayam potong, ayam pedaging dan sejenisnya itu.

Ironi kalau kita berharap mendapat kekuatan fisik dari asupan dan konsumsi daging, buah dan telur imitasi untuk menopang kehidupan kita yang bukan rekayasa.

Jangankan membantu kekuatan fisik kita, ayamnya sendiri pun rentan dan tidak punya kekuatan sendiri bahkan sekadar untuk menyelamatkan diri sekalipun. 

Suara petir pun akan langsung membuat ayam-ayam itu stres lalu mati. Bandingkan dengan ayam kampung yang dengan kokohnya berdiri, bergerak lincah menyelamatkan diri dan berlindung kalau ada ancaman. Ayam kampung jantan bahkan dengan gagah akan berdiri menyongsong elang kalau akan mengancam keluarganya.

Saya kemudian mencoba menghubungkan pola konsumsi kita selama ini dengan fakta semakin rentannya kita terhadap penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung, hipertensi, stroke, penyumbatan pembuluh darah dan penuaan dini. Anjuran dokter untuk mengerem penyakit degeneratif adalah memperbaiki pola hidup dan pola makan.

Ahaa. Di sini sumbernya. Pola hidup serba instan mengurangi peluang kita untuk tetap melatih otot dan anggota tubuh agar kebugarannya terjaga.

 Saya ternyata tidak perlu lagi berjalan ke halaman belakang untuk memetik sayur-mayur karena penjual sayur setia berkunjung. Artinya saya juga tidak perlu berpeluh-peluh memelihara tanaman saban hari. Waktu saya bisa dipakai menelusuri tampilan gawai seharian sembari menunggu sajian makan siap. Tidak bisa disiapkan cepat karena istri sibuk juga? Ada layanan antar yang siap sedia membantu sampai ke depan pintu.

Itu mungkin masalah kebiasan atau gaya hidup yang berubah.

Saya ingin kembali ke sambal saya, karena nasi di piring sudah mulai tandas. 

Pola makan yang jadi perhatian saya, namun lebih jauh masuk ke dalam dari sekadar melihat daftar nama bahan dan menunya. Rasa pedas yang tidak terlihat namun terasa itu alasannya pikiran saya juga menembus jauh, he he.

Pola makan dengan mengkonsumsi bahan yang tidak mengandung "unsur kehidupan" barangkali itu masalah utama penyulut penyakit degeneratif. Bukankah kata "degeneratif" mengandung makna proses regenerasi yang terganggu atar terhenti? 

Tomat tanpa biji, sekalipun ranum dan besar-besar, ternyata tidak membawa apa-apa untuk proses regenerasi. Jangankan untuk makhluk lain, seperti kita manusia, untuk regenerasi dirinya pun buah itu tidak mampu. 

Tumpukan telur nyatanya tidak menjanjikan kehadiran seekorpun anak ayam, kecuali telur ayam kampung yang karena bentuknya kecil dan sedikit pula jumlahnya tidak dilirik oleh pedagang. 

Sebagaimana tomat cherry, telur ayam kampung juga kecil tapi keduanya membawa unsur kehidupan dan sekaligus pesan kehidupan antar generasi.

Ternyata memang small is beautiful, mengutip judul buku dari EF Schumacher, ekonom Inggris kelahiran Jerman, yang menyindir betapa pertimbangan produksi selalu menjadi tumpuan dari aktifitas ekonomi di dunia. 

Buku lawas yang terbit tahun 1973 itu sepertinya masih relevan dengan cara kita menjalani pola hidup sampai ke pola makan. Esensi manusia dan kehidupannya dikesampingkan selain dipandang hanya dalam kontek siklus produksi-distribusi dan kapitasi kegiatan ekonomi eksploitatif.

Kecenderung memilih yang artifisial, telur yang banyak, daging yang empuk dan murah, dan buah tomat yang besar, menjadikan tubuh kita juga tubuh artifisial yang rentan. 

Anak-anak kita yang tumbuh dengan produk serupa adalah generasi yang karena tetesan hujan pun akan langsung jatuh sakit. 

Jangan-jangan pandemi hari ini juga diperparah karena proses degeneratif tubuh kita dan potensi degeneratif pada generasi-generasi hari ini dan hari esok.

Cabai rawit sambal mentah saya sangat pedas. Tomat cherry sambal saya gurih. Ditambah garam (kehidupan) secukupnya, bahan-bahan alami itu selain memberi asupan fisik bagi raga ternyata juga membawa kesadaran dalam sarapan pagi saya hari ini. 

Rasa pedas campur gurih menghasilkan keringat di punggung dan saya pagi ini siap beraktifitas di rumah dan seputaran halaman yang sayangnya tidak lagi memiliki kebun sayur-mayur.

Pembaca barangkali akan punya asupan berbeda. Oh ya tomat cherry yang jadi bahan sambal mentah saya adalah tomat yang dipetik dari kebun kampung, bukan hasil rekayasa genetik di perkebunan modern.

Tetap jaga kesehatan.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun