Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Normal Baru, Siapa Peduli Hak Anak?

26 Mei 2020   21:59 Diperbarui: 27 Mei 2020   19:34 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam rimba belantara masalah teknis semacam itu, penanganan pertumbuhan fisik dan perkembangan emosi anak siapa yang masih peduli? Sudah cukup memadaikah kita mengawasi kemungkinan adanya tekanan psikososial dan gangguan kesehatan mental yang mengancam anak kita? Bisa saja kita berkilah bahwa keselamatan warga secara keseluruhan itu yang lebih penting sehingga fokus kepada segmen-segmen populasi tertentu belum terlalu penting. Safety first. 

Masa kanak-kanak tidak akan pernah terulang lagi. Pahatan pada hari ini, apapun kondisi kita, adalah gambaran bentuk akhirnya kelak yang tidak akan ada lagi ruang untuk perbaikan dari awal.

Bukankah proses belajar tetap dapat berlangsung dengan melakukan penyesuaian metode dan materi belajar dari rumah?

Secara faktual memang demikian tapi langkah tersebut jika kita mengamatinya tidak lebih sebagai langkah darurat, bukan langkah penyesuaian strategi yang terukur ataupun perspektif baru di era baru. 

Bahkan yang ada sebenarnya tidak lebih memindahkan proses belajar dari tatap muka di ruang kelas ke tatap muka di layar kaca. Ruang kelas dan areal sekolah yang merupakan dunia 3 dimensi dengan kekayaan atributnya tereduksi menjadi pigura 2 dimensi dan hanya menyisakan tombol-tombol yang menampilkan wajah lugu, namun tanpa jiwa, dari algoritma sempit yang ada di belakang layar.

Baiklah kalau ternyata ada beberapa praktik belajar virtual tersebut sudah menyertakan modul untuk melakukan simulasi sehingga memampukan anak untuk merefleksikan sensasi kenyataan virtual.  Solusi teknologi yang efisien pada tahapan proses namun belum tentu efektif kalau berbicara tujuan belajar itu sendiri. Belajar bersosialisasi dengan sebaya, yang karena batasan kapasitas media penyimpanan dan kemampuan kalkulasi waktu nyata (real time calculation) dari mesin, tidak akan optimal bertumbuh. 

Terlalu banyak variabel pada diri manusia yang tidak akan mampu didukung pemrosesan datanya oleh mesin-mesin yang ada. Nilai-nilai dasar kemanusiaan terlalu rumit untuk diterjemahkan ke dalam syntax, script dan modul-modul program komputer.

Apa yang sebaiknya dilakukan?

Jawaban standar sepertinya tidak akan jauh dari ungkapan bahwa kita semua harus bekerjasama, multi pihak dan multi tingkatan pemerintahan harus duduk bersama membahas keberpihakan kepada hak masa depan anak kita. 

Sayangnya, ada ungkapan bahwa "setan bersembunyi di detail", sehingga rumusan dan jabaran yang sifatnya normatif sangat sering hanya bagus nampaknya di atas meja. Pelaksanaannya lebih banyak jauh panggang dari api, atau paling tidak indah kabar dari rupa.

Kebiasaan kita yang sering menyederhanakan sesuatu dan ditambah ketidakbiasaan untuk beradu argumentasi secara obyektif menghasilkan kesepakatan atau perumusan yang keropos dalam substansi dan lemah dalam komitmen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun