Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesempurnaan, Mendayung di Antara Keistimewaan dan Kemunafikan

23 Mei 2020   16:42 Diperbarui: 23 Mei 2020   19:41 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Photo by Andy Vu from Pexels)

Menampilkan kalimat ajakan yang sebenarnya merupakan kalimat perintah merupakan keahlian tersendiri sehingga tidak semua kita menyadarinya segera. Mungkin itu yang membuat mereka lalu merasa istimewa.

Cara kedua menjadi istimewa adalah menjadi pahlawan dengan menyelesaikan masalah orang lain. Menyelesaikan masalah orang sebenarnya menambah beban bagi saya, namun terkadang saya menikmatinya karena pada saat bersamaan saya menegaskan betapa jauh istimewanya saya dibanding orang lain yang saya tolong. Tanpa bantuan saya entah apa jadinya orang yang saya tolong itu. Tanggung jawab yang didorong oleh nilai kemanusiaan bisa jadi merupakan faktor yang apabila tidak saya penuhi justru menjadi masalah dalam diri saya. Berarti menyelesaikan masalah orang lain adalah juga cara menghindari masalah dalam hidup saya!

Saya tidak percaya omong-kosong membantu tanpa pamrih, tanpa muatan apa-apa dan tidak mengharapkan imbalan. Jujur saja, dengan membantu orang lain, paling tidak, saya akan menikmati betapa ternyata saya beruntung tidak terlibat dalam masalah serupa. Saya memperoleh kepuasan bathin karena ternyata saya cukup istimewa untuk tidak perlu tenggelam dalam problema serupa.

Sekalipun saya tidak meminta imbalan berupa barang atau uang, namun dengan memperoleh perasaan ketenangan, atau kepuasan, itu sudah merupakan imbalan bagi saya ketika menyelesaikan masalah orang lain. Tidak ada tindakan manusia yang tidak bermotif. Pembedanya hanya apakah motif itu dituangkan dalam capaian akhir (to have) dalam bentik kepemilikan atas sesuatu atau dinikmati dalam proses menuju/menjadi (to be).

Tindakan tanpa motif hanya berlaku sepenuhnya bagi binatang atau tumbuhan dan disebut sebagai naluri, karena meski manusia memiliki juga naluri namun karena kesempurnaan-nya naluri itu akan senantiasa dipandu oleh akal. Perkara apakah sinergi naluri dan akal akan sesuai atau tidak dengan etika dan norma yang berlaku itu merupakan hal berbeda.

Apakah fenomena ini hanya ada di dunia politik? Saya yakin di luar politik pun fenomenanya sama. Di tempat kerja, betapa banyak rekan kerja yang selalu ingin diistimewakan? Terkadang dengan kompetensi yang tidak cukup pun, ada yang ingin dipandang istimewa oleh atasan dan berharap mendapat promosi sambung-menyambung sampai ke puncak yang tersedia.

Mungkin saya juga pernah berlaku demikian, namun bagi politisi menyatakan keistimewaan merupakan sesuatu yang wajar dan memang sudah semestinya karena tingkat dan proses kompetisi yang berliku dan mereka memiliki turunan-tanjakan lebih banyak di sepanjang rute hidupnya. Karenanya saya lebih mudah melihat contoh dari politisi atau pejabat publik. Contoh di dunia kerja hanya bisa anda rasakan sendiri di lingkungan anda yang mungkin berbeda-beda.

Di penghujung Ramadhan 1441 Hijriyah, dan dalam suasana bersiap-siap menyambut Hari Raya Idul Fithri tahun pandemi ini, kesempurnaan ternyata sesuatu yang melayang-layang di benak dan di ruang publik tanpa diketahui kapan akan menyata. Kejelasan langkah dan target bersama melawan Corona nyatanya juga samar-samar ditelan penjelasan bersusul bantahan dan berganti klarifikasi dari para pejabat publik, manusia pilihan yang diistimewakan. 

Pahitnya barangkali adalah ketika kesempurnaan terpaksa kita maknai sebagai paripurna menjalani hidup dan lalu moksa ke dunia lain. Hipokrit, munafik dan eksploitatif barangkali hanya akan menjadi bagian dari proses menuju kesempurnaan kalau kita memang sudah mampu memilih fokus ke depan, membentang sampai batas cakrawala kita sejauh helaan nafas.

Akhir hidup yang baik itulah kesempurnaan hidup menurut saya berdasarkan agama Islam yang saya anut dan sebatas yang mampu saya fahami.

Mohon maaf lahir bathin. 

Selamat merayakan Iedul Fithri 1 Syawal 1441 H yang penuh isyarat dan makna dari Allah SWT.

23 Mei 2020/30 Ramadhan 1441 H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun