Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesempurnaan, Mendayung di Antara Keistimewaan dan Kemunafikan

23 Mei 2020   16:42 Diperbarui: 23 Mei 2020   19:41 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Photo by Andy Vu from Pexels)

Salah satu kesalahan masyarakat dalam menilai manusia adalah reproduksi pemahaman dan pelestarian klaim bahwa manusia adalah makhluk terunggul dan sempurna di semesta. Sayangnya klaim itu lebih sering tanpa dukungan proses yang memadai.

Dari pondasi tersebut kemudian kesadaran diri anggota masyarakat dibentuk, pematutan diri individu diukur dan penilaian relasi antar individu sebagai bagian masyarakat, antar masyarakat ditarik garis di antaranya sebagai cermin untuk melihat kesejajaran, mengukur ketimpangan dan menakar kebutuhan.

Bukankah dalam kitab suci sudah ditegaskan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna?

Memang betul, tapi dalam Kitab Suci juga dikisahkan makhluk terhina yang berasal dari golongan manusia juga. Karena kitab suci mengandung kedua ekstrim dari spektrum eksistensi manusia, seharusnya kita memandang kitab suci sebagai guideline, hudallinnaas atau petunjuk bagi manusia.

Dengan menempatkan kitab suci sebagai pedoman hidup maka konsekuensi pemaknaannya adalah citra yang ditampilkan dalam kitab suci, termasuk citra manusia sebagai makhluk sempurna yang diciptakan Allah, adalah sebuah konsekuensi dari tindakan manusia. Gambaran akhir sosok manusia merupakan konklusi dari rangkaian pemaknaan tindakan. 

Practices makes perfect. Kesempurnaan hanya akan diperoleh dari serangkaian proses panjang yang akan diukur lengkap ketika keseluruhan prosesnya selesai. Dan sayangnya hasrat mencapai (to have) gambaran kesempurnaan seringkali tidak cukup didukung dengan proses yang memadai untuk menuju (to be) tahap tersebut

Masih pentingkah dalam keseharian kita menyodorkan kata "sempurna" ketika terhadang situasi yang justru menunjukkan kondisi sebaliknya? Relevankah bersikukuh dengan klaim "makhluk sempurna" ketika kondisi manusia justru kepayahan, tersengal-sengal dan megap-megap menghadapi situasi dan lingkungan yang dipicu oleh makhluk tidak sempurna?

Perspektif ekologi akan membawa kita pada kenyataan semesta bahwa perubahan iklim, penurunan kualitas lingkungan seturut peningkatan ketamakan manusia merupakan konteks yang menempatkan manusia ternyata tidak sendiri di alam ini. Pada tingkat yang lebih nyata dalam keseharian yang teraba indera, deretan data statistik yang menunjukkan merebaknya pandemi, meningkatnya perulangan kejadian bencana alam, merosotnya ketersediaan air bersih dan kian menyesakkannya kualitas udara yang kita hirup memaksa manusia berpacu dengan waktu untuk menemukan solusi.

Silih berganti tawaran teknologi untuk menjawab dahaga manusia akan solusi yang mangkus nyatanya hanya menghadirkan masalah dalam bentuk baru atau paling tidak menunda kejadiannya dalam perspektif waktu. Respon manusia terhadap pagebluk yang tercatat dalam sejarah ternyata juga direspon oleh sumber wabah dengan bermutasi yang secara siklikal memunculkan varian-varian baru.

Di tengah pandemi hari-hari ini, sejujurnya apa beda kita hari ini, manusia yang katanya sempurna, dengan manusia di tahun 1918. Hari ini kita terbiasa dengan fasilitas teknologi, informasi dan komunikasi yang jauh lebih lengkap dibanding generasi manusia ketika flu spanyol itu merebak dulu. Nyatanya manusia tetap berguguran karena virus yang sama meski berbeda varian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun