Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Topeng di Balik Wajah

5 Mei 2020   22:04 Diperbarui: 7 Mei 2020   04:51 1485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benda yang mungkin paling lekat dengan keseharian kita saat ini adalah sehelai kain yang dilengkapi dengan tali pengikat atau pengait. Kreatifitas beberapa kalangan menampilkan kain tersebut dengan ragam warna dari sekadar hijau atau putih menjadi aneka warna yang terkadang disesuaikan dengan warna pakaian. 

Kain yang ramai disebut masker itu menjadi syarat anda bisa melintas di jalanan dan pemukiman tertentu.

Tanpa sehelai kain tersebut di wajah, alamat anda akan disebut sebagai covidiota alias  "si dungu (idiot) di tengah Covid". Karena kedunguan, bisa jadi anda akan dikenai tilang di jalan raya atau tidak diperkenan melintas. Covidiota menjadi salah satu kosakata baru (Bahasa Inggris) yang muncul di tengah pandemi.

Kenapa mengambil dari Bahasa Inggris, bukan dari Bahasa Indonesia? Jawabannya mungkin karena tanpa sadar kita telah terbiasa dengan kosakata Bahasa Inggris, entah karena malas mencari padanan artinya dalam Bahasa Indonesia atau biar disebut up to date.

Kata yang saya maksud adalah kata masker yang menurut kamus, padanan Bahasa Indonesianya adalah "topeng". Padanan lain dari kata "masker" adalah penutup muka dan kedok.

Mungkin aneh rasanya kalau himbauan "jangan lupa pakai masker" diganti dengan "jangan lupa kerkedok" padahal arti keduanya sama. Dari sisi jumlah kata ungkapan "jangan lupa berkedok" memiliki kata lebih sedikit kecuali kalimat "jangan lupa pakai masker" diganti dengan "jangan lupa bermasker". 

Nilai rasa juga mungkin terasa berbeda kalau kalimat "jangan lupa pakai masker" di-Indonesia-kan menjadi "jangan lupa bertopeng". Apakah ada yang salah secara etimologis dengan hal tersebut?

Fungsi bahasa, salah satunya, adalah alat berkomunikasi. Selama makna pesan yang disampaikan diterima dengan tepat maka tugas bahasa selesai. Himbauan untuk menggunakan kedok, ups masker, sudah banyak diindahkan sehingga sampai titik ini tujuan komunikasi sudah tercapai.

Apa yang terjadi kalau digunakan kata Bahasa Indonesia yang semakna dengan "masker", misalnya topeng atau kedok? Dengan alasan cinta Bangsa dan Bahasa Indonesia kita mengganti kalimat himbauan menjadi "jangan lupa berkedok kalau keluar rumah" atau "pakailah topeng anda saat keluar dan berinteraksi dengan orang lain".

Seketika kita mungkin akan merasa tersentak dengan kemungkinan makna yang terasa asing atau melenceng.

Kedok atau topeng menurut KBBI selain sebagai penutup muka, dengan bermacam bahannya adalah sesuatu yang digunakan untuk menutup maksud sebenarnya (kedok), kepura-puraan (topeng).

Citra inilah yang kemudian melekat sehingga penggunaan kata kedok atau topeng dalam himbauan dipandang kurang pantas. Tapi tepatkah penggunaan kata "masker" kalau kita ingin menghindar dari kepura-puraan menurut KBBI tadi?

Sayangnya kata "masker" dalam Merriem-Webster diartikan sebagai "the person who wears a mask" sedang kata "mask" sendiri memiliki arti sebagaimana KBBI yaitu penutup muka, topeng atau kedok. Ya, masker berarti "orang yang menggunakan topeng atau kedok". 

Nah lho! Merriem-Webster menyebutkan kata "mask" berasal  dari Bahasa Perancis jaman Pertengahan yaitu "masque" dan mulai digunakan dalam Bahasa Inggris sekitar tahun 1533 sebagai kata benda (noun) dan sekitar tahun 1579 sebagai kata kerja (verb).

KBBI memang memiliki lemma "masker" yang berarti (1) alat penutup muka; topeng dan (2) kain penutup mulut dan hidung, dan pasti dari lemma inilah penggunaan kata masker diambil, meski tetap terasa ada lompatan kultur bertatabahasa yang tidak konsisten karena bagi saya sulit mengatakan kata "masker" bukan kata serapan dari bahasa asing, dalam hal ini minimal Bahasa Inggris.

Karena kedua arti lemma tersebut setingkat, sama-sama kata nomina, bagaimana kalau digunakan kata topeng?

Melihat bagaimana kata "masker" digunakan dan tujuan dari pesan yang ingin disampaikan dari kalimat ber-"masker" maka sebenarnya fungsi topenglah yang ingin dikedepankan. Apa buktinya?

Siapa sebenarnya pemilik wajah di balik topeng tidaklah penting dalam upaya mencegah penyebarluasan corona. Identitas yang lebih penting terletak pada masker itu sendiri. Sebagaimana topeng digunakan dalam pertunjukan kesenian, siapa pemainnya atau siapa pemakai topeng tidak penting. 

Citra yang dibawa atau ditampilkan dari sosok topeng jauh lebih penting karena citra itu lah yang membangun keseluruhan rangkaian kisah yang dipentaskan. Maka dalam satu lakon, bisa saja seorang pemain berganti-ganti topeng menyesuaikan dengan babak dalam kisah yang ditampilkan.

Topeng atau masker dalam keseharian kita sekarang adalah gambaran dari rasa aman. Penggunaan kedok, ups masker, memberi jaminan kepatuhan seseorang kepada prosedur yang diperintahkan oleh lingkungan terdekat kita.

Tanpa masker berarti anda tidak mengindahkan kesepakatan komunitas dan pengabaian itu mengandung arti lunturnya ikatan komunitas. Pada ujungnya pelemahan rasa keterikatan dalam sebuah komunitas membawa konsekuensi keluarnya atau dikeluarkannya seseorang dari komunitas.

Singkatnya anda tidak akan diperkenankan melewati portal pemukiman tanpa masker. Jangan berharap melintasi gerbang apabila tidak berkedok, ups bermasker. Sebegitu jauhkah masker menjadi penanda identitas?

Terasa terlalu jauh kalau kita mengartikan identitas hanya sebagai nama, alamat, jenis kelamin dan semua atribut data pribadi yang terekam secara administratif dalam KTP atau KK.

Namun jangan lupa konsep identitas sebenarnya secara filosofi adalah cara menentukan perbedaan atau kemiripan di antara dua entitas. Dalam bentuk yang lebih praktis identitas dibedakan menjadi dua yaitu cara menginformasikan diri dan secara nomimalnya sebagai serangkaian atribut yang dilekatkan oleh masyarakat kepada seseorang.

Dengan menggunakan kedua pengertian tersebut maka kita dapat memaklumi bahwa dalam situasi pandemi seperti sekarang atribusi dari lingkungan atau masyarakat lah yang lebih menentukan ruang gerak kita. 

Apa boleh buat, identitas yang dibutuhkan lingkungan adalah perasaan kesamaan sikap menghadapi pagebluk yang diartikulasikan dalam bentuk masker.

Masker anda atau topeng saya yang terbuat dari kain dan berpengikat itu lah atribut yang lebih penting dibanding polesan make up atau wajah klimis apalagi pakaian yang melekat di badan.

Apakah ini bentuk lain dari social distancing? Kalau secara fisik sejauh ini kita sudah berusaha menjaga jarak (physical distancing), rupanya dalam interaksi sosial setiap kita kini memerlukan atribut baru atau harus menggunakan identitas baru yang disimbolkan melalui masker. 

Pada titik ini maka penggunaan makna dari topeng atau kedok rasanya lebih pas, karena wajah yang kita tampilkan kepada publik bukanlah wajah kita yang apa adanya. 

Wajah tampan, cantik dengan kulit halus atau dihiasi janggut lebat yang adalah wajah asli kita kini harus ditutupi dengan sehelai kain untuk meneguhkan identitas yang dapat diterima di lingkungan terdekat kita. Tepat dengan arti kata topeng atau kedok yaitu menutup wajah dan identitas sebenarnya.

Jangan lupa bahwa berbahasa tidak selalu dengan kata-kata, simbol juga bagian dari bahasa sehingga penutup wajah kita sebenarnya juga adalah bagian dari cara berbahasa dengan penggunaan sebentuk simbol bernama masker. 

Pesan dari masker adalah saya bagian dari komunitas yang peduli dengan pembendungan penyebarluasan corona, maka terimalah saya di lingkungan ini, biarkanlah saya melintasi portal ujung gang perumahan.

Ternyata corona tidak hanya membuat individu berada dalam kecemasan dan ketakutan tapi juga memaksa kita untuk mengukur dan menilai kembali cara mengenali siapa sesama kita, paling tidak selama masa pandemi.

Selepas pandemi ini kelak mudah-mudahan kita mendapat pengayaan untuk lebih mengenali siapa yang bertopeng sementara dan siapa yang selalu bertopeng.

Sembari membenahi cara kita berbahasa marilah kita memperbaiki wajah kohesi sosial di antara kita, kohesi yang terbangun di atas kesetaraan dan toleransi.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun