Diskusi yang ada masih berkutat pada aplikasi apa dan teknologi apa yang efektif digunakan agar pertemuan guru dan murid tidak terganggu. Pendidikan sepertinya masih terkungkung pada upaya penyampaian materi yang sudah ditentukan jauh-jauh hari sebelum pandemi terjadi karena paket materi sudah diancang dengan baik. Pendidikan gaya bank, menurut istilah Paulo Freire.
Imunnya dunia pendidikan terhadap masalah kesehatan publik juga tergambar dari dominasi sektor kesehatan dalam penyampaian pesan publik penguasa. Kesehatan dan masalahnya bukanlah ranah pendidikan untuk mencari solusinya.
Suatu saat ketika pandemi ini berakhir, pelajaran apa yang diperoleh oleh dunia pendidikan sendiri? Apakah ada yang akan jujur merefleksikan sejauh mana kecerdasan bangsa berhasil didorong oleh praktik pendidikan selama ini?Â
Jauh di masa depan ketika pandemi dengan varian baru muncul masihkah bangsa ini mengeluhkan kesadaran masyarakat yang rendah untuk memproteksi diri? Waktu yang akan menjawabnya.Â
Masih banyakkah masyarakat yang rentan secara ekonomi karena pendidikan yang tidak kompatibel dan responsif dengan tantangan jaman kelak, apalagi kalau tantangan jaman itu ditambah dengan situasi pandemi baru?
Kalau pertanyaan yang sama masih dijawab dengan apologi yang sama maka mungkin kita harus belajar lagi dari perjuangan Dr. Wahidin Sudirohusodo atau Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dokter didikan kolonial yang berjuang untuk memajukan kesehatan masyarakat dan kemudian menjelma menjadi pahlawan pergerakan nasional.Â
Refleksi Hari Pendidikan Nasional di tengah pagebluk mestinya dipantulkan pada kontek sosial yang melingkup dunia pendidikan, bukan refleksi omong kosong yang hanya memantul dalam ruang kelas semata.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H