Seketika potensi rasa kecewa ini saya kembalikan ke tujuan awal ketika mulai menulis. Telos saya menulis itu sebenarnya apa? Dalam Bahasa Yunani Telos berarti akhir, tujuan atau maksud. Dari kata ini muncul kemudian istilah teleologi yang merujuk ke bahasan tentang Etika yaitu mengukur baik atau buruknya sesuatu tindakan dengan melihat tujuan akhir yang ingin dicapai atau akibat yang akan ditimbulkan. Tentu di sini teleologi berhubungan dengan moral, meski terkadang dalam masyarakat sering dikaburkan dengan etiket yang bermakna sopan santun atan tata krama.
Ketika saya menggunakan perspektif teleologi menilai naik atau tidaknya artikel menjadi AU, ini juga refleksi yang saya dapat dari kegiatan blogshop ini. Ya, apakah tujuan menulis untuk mendapat sebanyak mungkin viewer belaka, yang memang banyak juga dipengaruhi oleh label AU ini? Kalau jawaban pertanyaan ini adalah "ya", maka ini yang saya pandang akan menjerumuskan penulis ke masalah originalitas yang berkelindan dengan plagiarisme.
Bukankan ini materi yang cukup banyak dibahas dalam blogshop itu?
Plagiarisme menurut saya bisa memicu penyebaran hoaks, karena mengejar sensasi melupakan esensi membuat kita bisa lalai dalam memeriksa akurasi dan juga kegagalan menjaga kejujuran. Memang semua akan kembali ke teleologi menulis yang kita anut. Mengejar target setoran artikel sebagai tugas mata kuliah, mengejar akumulasi poin dan sejenisnya bisa membutakan mata.
Sejujurnya, bagi saya menulis adalah cara merangkai informasi dan sedikit pengetahuan yang saya peroleh dari membaca, mendengar dan mengamati fenomena. Ada Kompasianer (kalau tidak salah pak Bambang Trim) yang mengatakan, "membaca memperluas wawasan, tapi menulis akan meningkatkannya". Ini yang saya rasakan dalam proses merangkai tulisan menjadi artikel.
Tantangannya adalah melakukan verifikasi mandiri, apakah yang kita tulis merupakan sesuatu yang baru yang kita rangkai dari sekian fakta, informasi dan bacaan yang kita kumpulkan? Orisinalitas, itu juga tema yang dibahas dalam blogshop ini yang saya nilai penting bagi saya yang bukan siapa-siapa yang dengan lancang menulis tentang sejarah, arkeologi, logika, pendidikan dan segala macam yang sempat teringat.
Ada yang mengatakan (terus terang saya lupa nama orangnya) bahwa tidak ada yang baru di muka bumi ini. Tapi karena dorongan mulia (ciee...ciee...) untuk berbagi maka wawasan itu saya coba tulis untuk berbagi. Ternyata betul, merangkai narasi tidak semudah kalau berbincang lepas di warung kopi. Tapi dengan menuliskannya baru saya lalu menyadari bahwa saya seringnya masih kurang utuh memahami sesuatu.
Bagaimana menjaga originalitas atau menghindari plagiarisme? Dalam hemat saya, sekalipun tidak ada yang baru di muka bumi, namun selalu ada sisi yang tersisa untuk ditulis. Terima kasih Mbak Widha yang memberi semacam panduan menjaga jebakan plagiarisme ini. Perkara hal yang kita tulis sebenarnya masih mentah, penulis teringat kalimat Cicero dalam novel Imperium yang ditulis oleh Robert Harris (2008) yaitu:
Terkadang, mengutarakan ambisi terlalu awal adalah tindakan konyol, mendedahkannya terlalu dini pada tawa dan kesinisan dunia dapat menghancurkan ambisi itu sebelum sempat terlahirkan dengan benar, namun kadang kebalikannya yang terjadi. Dan tindakan melisankan itu justru membuatnya tiba-tiba terasa mungkin terjadi, bahkan dapat terbayangkan.
Saya membuktikannya, tulisan yang menurut saya masih kurang sempurna malah muncul menjadi Artikel Utama dan ada juga yang ribuan viewer-nya.Â
Sejujurnya, 4 (empat) kali berturut-turut dapat label Artikel Utama bagi seorang "Debutan" di jagat Kompasiana seperti saya sungguh adalah sesuatu.
Mudah-mudahan kalau tidak mendapat label itu lagi bukan karena masalah bagi-bagi jatah tapi karena kualitas tulisan yang rendah atau justru ketahuan melanggar ketentuan.