Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pola Hidup Sehat, Humoris Coronae Causa?

7 April 2020   22:41 Diperbarui: 9 April 2020   04:57 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) melalui pejabatnya Kepala Jaringan Wabah dan Tanggap Darurat Global WHO, Dale Fisher menilai apa yang dilakukan orang-orang dengan melakukan penyemprotan di jalan merupakan hal yang konyol. Daripada menyemprot jalanan dengan disinfektan mengandung klorin, lebih baik menggalakkan kegiatan cuci tangan dengan sabun.

"Saya lebih melihat orang-orang mencuci tangan dan menjaga jarak, hal seperti itulah yang merupakan aksi tanggap masyarakat terhadap virus, bukan menyemprotkan klorin di mana-mana," kata Fisher. Beritanya di sini.

 Apa yang bisa kita simak dari fenomena ini?

Penggunaan cairan desinfektan untuk menyemprot jalanan yang marak dilakukan bahkan oleh bukan petugas kesehatan, mungkin karena petugasnya sudah kewalahan di rumah sakit, dapat dilihat sebagai bentuk kepedulian masyarakat untuk berpartisipasi membendung penyebaran virus Corona.

Kepedulian yang meningkat seiring kegelisahan sebagian pihak yang juga meningkat karena respon pemerintah dipandang lamban dan bertele-tele dan terkesan mengulur-ulur waktu. Tarik ulur lockdown atau tidak, bolak balik penjelasan tentang boleh tidaknya mudik dan respon para pejabat yang tidak seirama sekilas memberi sinyal kepada rakyat untuk bergerak segera.

Dengan alasan kemanusiaan, bergeraklah komponen masyarakat untuk menjaga wilayah masing-masing, membatasi jarak fisik dengan sesama dan menyumbang apa yang bisa diberikan ketika negara masih sibuk menyelesaikan urusan istilah dan administrasinya. Bahwa pemukiman, wilayah administrasi menjadi terkotak-kotak karena pembatas atau penghalang jalan yang terpasang di sana-sini adalah hal lain.

Penggunaan disinfektan yang dipandang kurang tepat oleh pejabat WHO dalam berita di atas menyiratkan adanya proses politik dan kebijakan yang tidak berjalan sinergi dengan semangat pemutusan rantai penyebaran Corona. Langkah yang diharapkan lebih maju, lebih cepat dari gerak virus nyatanya masih tersandung pilihan politik antara all out melawan virus atau menjaga ekonomi makro.

Dengan penghargaan tinggi kepada mereka yang telah ikut dalam membendung penyebaran Corona dan ketimbang merungut atas apa yang sedang terjadi, mari kita melihat dari sisi lain. 

Dengan kata-kata kunci "konyol", "desinfektan" atau "cairan" dan "politik", adakah benang merah di antaranya?

Hal yang sifatnya konyol, kalau dilakukan dengan tidak sengaja adalah gambaran kekurangan pengetahuan, kurang pengalaman sehingga menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Tapi kekonyolan yang disengaja biasanya dilakukan dalam kontek melucu, guyonan dan sejenisnya.

Apakah yang dilakukan watercanon kepolisian yang ikut berpartisipasi melakukan penyemprotan adalah kesengajaan atau ketidaksengajaan? Jawabnya pasti karena ada perintah dari atasan. Tidak ada urusan mau disebut tidak berguna, konyol atau apapun, yang jelas bagi aparat perintah atasan adalah perintah yang harus dilaksanakan tanpa ruang untuk mendebatnya.

Atasan mendapat perintah dari atasan yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai diperoleh hubungan bahwa apa yang dilakukan petugas di lapangan adalah terjemahan dari apa yang hendak dilakukan pemegang kekuasaan di atas.

Yang menjadi perhatian adalah pilihan tindakan dengan melakukan penyemprotan cairan tertentu, yang kebetulan bernama desinfektan, di tempat yang kurang tepat menurut WHO di atas, sebagaimana juga para pakar sudah sering menyampaikannya.

Kalau kita telusuri kata "cairan" dalam sejarah dunia kesehatan maka kita akan bertemu dengan kata "humor" yang diartikan sebagai cairan dalam tubuh yang menentukan karakter seseorang. Bahasa Latin menuliskannya "umor", tanpa huruf "h" di depan.

Menurut kepercayaan yang dibawa dari jaman Romawi Kuno itu, cairan atau "humor" dalam diri seseorang terdiri dari 4 (empat) macam yaitu kuning, merah, biru dan putih.

Warna yang dominan dalam tubuh seseorang menjadi penentu kondisi fisik dan karakternya, misalnya kalau merah akan cenderung gembira lincah dan optimistik dan warna putih akan membawa karakter tenang. Lengkapnya lihat di sini.

Menurut Jaya Suprana (Humor di Tengah Masyarakat, Prisma Vol 38, 2019), ketidakseimbangan komposisi "humor" dalam diri seseorang akan membawa perilaku tidak sehat, tidak beres, tidak waras dan layak dianggap gila dan karenanya layak disebut sebagai "humoris". Nah lho..!

Kalau pendapat dari pejabat WHO di awal tulisan ini diterjemahkan sebagaimana ahli kesehatan Romawi Kuno mengajarkan, maka pejabat WHO tadi mengatakan  terjadinya ketidakseimbangan keberadaan cairan (yang bernama desinfektan), yang mestinya cukup dalam bentuk pencuci atau pembersih tangan di rumah-rumah atau kantor-kantor, yang dibiarkan tau didukung untuk ditumpahkan di jalanan, di halaman, pekarangan dan areal terbuka lainnya. Bahkan ada cairan desinfektan yang disemprotkan ke tubuh manusia langsung.

Ingat, "Humor itu serius", kata Arwah Setiawan (1977) maka penggunaan cairan tertentu, berupa desinfektan, pada tempat yang tidak semestinya adalah seuatu yang juga serius.

Keseriusan humor yang lainnya karena "Humor adalah peristiwa politik dari upaya manusia menyelesaikan konfrontasinya dengan beragam institusi peradaban", kata Rocky Gerung yang dikutip oleh Seno Gumira Adidarma dalam tulisannya dalam Prisma Vol 38, 2019.

Ya, penyemprotan cairan atau "humor" dalam pengertian Romawi Kuno di atas, dalam bentuk desinfektan pada tempat yang kurang tepat menurut WHO tadi adalah suatu bentuk "humor" tersendiri berupa peristiwa dalam masyarakat yang dipicu oleh keberadaan makhluk tak kasat mata namun nyata dan terbukti memancing konfrontasi, paling tidak konfrontasi pendapat.

Pemicu konfrontasi adalah tidak cukupnya penjelasan dan ketegasan negara perihal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang untuk membendung Corona. Sayup-sayup kita mendengar hanya berupa himbauan atau kalimat tidak disarankannya suatu praktik tertentu.

Padahal kita mafhum bahwa salah satu ringkasan dari istilah kebijakan publik adalah "apa yang dilakukan dan apa yang tidak dilakukan oleh pengambil kebijakan alias pemerintah". 

Sayangnya, 

politisi itu tidak tahu apa-apa dan dia berfikir tahu segalanya 

kata George Bernard Shaw.

Otonomi daerah yang membagi wilayah dan administrasi dalam beragam tingkatan dan bentuk pemerintahan di daerah juga menimbulkan celah dalam penyampaian dan pemahaman detail langkah yang harus diambil.

Seorang bupati di Indonesia Timur melancarkan kritik ke seorang Menteri karena merasa lebih kenal tentang wilayahnya dan juga memikul tanggungjawab langsung kepada rakyatnya. Kepala daerah yang lain di Jawa mengeluhkan pemerintah pusat yang dipandang lamban dan bertele-tele.

Cuci tangan pakai sabun, hidup bersih-sehat adalah kampanye kesehatan yang bertahun-tahun dilakukan oleh pemerintah sampai ke jajaran dan jejaring tenaga kesehatan terbawah, terjauh, terluar dan ter-ter lainnya.

Nyatanya dampak dari pengerahan sumber daya sedemikian tidak terlalu signifikan dalam peningkatan literasi kesehatan masyarakat.

Jangan-jangan selama ini telah terjadi ketidakseimbangan "humor" dalam tubuh birokrasi kesehatan. Ada "cairan tertentu" yang lebih mendominasi dalam aliran cairan di tubuh birokrasi sehingga kampanye kesehatan yang dilakukan selama ini tidak cukup mangkus. 

Munculnya Corona seketika membangkitkan kesadaran yang bertahun-tahun dirindu. Jangankan rumah atau sekolah, bahkan pintu-pintu pusat perbelanjaan pun kini dilengkapi dengan fasilitas cuci tangan dan penjaganya disiplin meminta kita untuk membersihkan tangan terlebih dahulu sebelum masuk.

Berjemur sinar matahari pagi, konsumsi vitamin menjadi ritual yang banyak diterapkan hari-hari ini.  Aktifitas yang tidak terbayangkan setahun lalu saat kita belum kenal Corona.

Pola hidup sehat yang ramai dipraktikkan kini mudah-mudahan bukan ritual sesaat yang menyurut seturut badai Covid-19 yang berlalu, kelak.

Kalaupun itu terjadi, kita semua kembali ke perilaku semula seperti sebelum ada pandemi, maka apa yang terjadi hari-hari ini adalah sebentuk humor, baik sebagai kekonyolan penggunaan sumber daya maupun bentuk upaya penyelesaian terhadap konfrontasi institusional. 

Ternyata benang merah penghubung kata konyol, desinfektan (atau cairan) dan politik pada momentum pandemi Covid-19 adalah pada kata humor. Terserah mau menggunakan pengertian humor yang mana, semuanya Humoris coronae causa.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun