Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Robohnya (Dinding) Sekolah Kami

3 April 2020   16:20 Diperbarui: 4 April 2020   05:05 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berangkat sekolah lewati Jembatan Gantung Lok Baintan, Banjarmasin (dokpri)

Sekolah yang awalnya sebagai tempat dimana ada sekelompok warga sekadar berdiskusi bertukar pengalaman dan dalam posisi kesetaraan menjadi ruang politis ketika ada pihak yang merasa memiliki otoritas untuk mendominasi apa yang boleh dan tidak boleh dibincangkan. Lebih jauh tentang hal ini dapat dibaca di tulisan Darmaningtyas (1997) yang berjudul "Makna Pendidikan".

Yang ingin saya sampaikan dengan pembeberan sedikit latar belakang politik dari praktik pendidikan di atas adalah betapa definisi sekolah ternyata mengalami pergeseran makna. 

Akar kata Sekolah dapat ditelusuri dari Bahasa Latin Schola atau Bahasa Yunani Skhole yang bisa berarti waktu luang, istirahat yang kemudian bisa diisi dengan berbincang-bincang. 

Dari kata itulah kemudian Perancis menyebutnya Ecole, Spanyol Escuela, Italia Scuola, Jerman Schule, Rusia Shkola dan kemudian menyebar ke penjuru dunia sampai ke Indonesia menjadi Sekolah.

Nah dengan belajar dari rumah, beberapa ciri sekolah yang selama ini dipraktikkan sadar tidak sadar mengalami disrupsi. Hegemoni sekolah untuk mendisiplinkan muridnya melalui seragam, yang mulai diatur ketika Daoed Joesoef menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, hari-hari ini rasanya tidak relevan lagi. Seragam hanya dibutuhkan ketika anggota populasi berada dalam kerumunan sebagai salah satu penanda identitas.

Belajar online tentu saja tidak butuh seragam, karena identitas seseorang di dunia maya hanya berupa akun dan kadang-kadang ditambahkan foto wajah (profil). Tanpa baju seragam artinya kemerdekaan tampilan fisik. Penyeragaman hanya bisa dilakukan dengan menentukan platform apikasi yang akan digunakan berkomunikasi.

Sekalipun guru atau sekolah bisa mengatur materi apa yang harus dipelajari pada setiap sesi on line, terbayang bagaimana cara guru melakukan penegakan disiplin? 

Merdeka belajar lagi-lagi ditawarkan kepada murid. Mau selonjoran, sambil berbaring memeluk bantal, atau sambil sikat gigi adalah bentuk kemerdekaan fisik belajar. 

Pernah membayangkan atau merasakan tersiksanya ngantuk dan ketiduran di kelas? Belajar dari rumah berarti merdeka menikmati rasa kantuk karena tidak mungkin guru akan menjewer telinga si murid pengantuk.

Kalau proses belajar adalah relasi antara pelajar dan pengajar maka ketika proses belajar pindah ke ruang virtual, hegemoni yang sifatnya fisik dari sekolah dan guru kepada murid hilang dan tunduk kepada kualitas jaringan dan kuota internet masing-masing pihak. Ya, ada pihak ketiga yang kini berperan menentukan keberlangsungan proses belajar. Selain dalam bentuk layanan koneksi, pihak ketiga bisa dalam bentuk penyedia aplikasi komunikasi, bisa juga dalam wajah penyedia bahan belajar yang semuanya tidak bisa lagi dikendalikan oleh sekolah.

Masuknya pihak ketiga dalam proses belajar online merubah pola relasi dan komunikasi dari sebelumnya hanya antara guru-murid dengan dominasi lebih pada sisi guru, kini harus memperhatikan atau membiarkan keberadaan pihak ketiga tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun