Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menakar Jarak dalam Social Distancing, Meninjau Ulang Ruang Sosial

18 Maret 2020   21:53 Diperbarui: 18 Maret 2020   22:02 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Virus Corona telah mengguncangkan tatanan sosial manusia. Selain sejumlah orang yang terduga, yang positif terpapar bahkan sebagian yang meninggal dunia, virus ini juga memaksa manusia seantero dunia untuk mengatur ulang pola dan aktifitas interaksi dengan sesama. 

Seleksi siapa saja orang yang boleh datang ke wilayah kita dan periksa dari mana saja sebelumnya dia telah berjalan sekarang menjadi protokol standar kita menerima tamu atau pendatang.

Pendatang tidak terbatas orang lain yang tidak kita kenal sebelumnya, bahkan keluarga yang datang pun termasuk dalam kategori pendatang yang perlu terlebih dahulu ditelusuri sudah sejauh mana dia melakukan perjalanan dan daerah atau wilayah mana saja yang dilintasinya.

Tracking kini menjadi pengganti salam penyambutan. Pemeriksaaan kehangatan menjadi cara kita memutuskan apakah akan menerima seseorang. Semakin hangat semakin berbahaya. Bukankah hangat tidak mesti suhu badan, karena hangat bisa ditunjukkan dari raut sumringah, atau senyum terkembang?

Betul, tapi senyum apa yang bisa kita harapkan dari wajah tertutup separuh oleh masker. Bahkan di gerbang masuk bandar-bandar pun masih ditambah selubung penutup sekujur badan. Dari mana kita kenal siapa yang menyambut kita, apalagi mengetahui dia tersenyum atau cemberut?

Social distance menjadi ukuran penentu seberapa dekat kita boleh berinteraksi. Ada jarak minimal yang harus dijaga, alih-alih bertanya kenapa seseorang menjauh dari seseorang lain. Hari-hari ini berjauhan lebih utama dari berdekatan.

Apa yang sedang terjadi? 

Di luar masalah kemanusiaan yang bertalian dengan peluang kesintasan atau kemungkinan matinya seseorang, fenomena yang diawali dengan penerapan protokol tracking adalah penanda atau pemicu kita yang sedang membentangkan tirai atau hijab antar individu di ruang nyata. Tracking berarti membentangkan garis imajiner yang bisa jadi membentuk jejaring titik-titik aktifitas seseorang.

Dalam kontek respon CORONA, garis kini menjadi penanda riwayat seseorang sebagaimana garis keturunan menggambarkan asal-usul genetik dan biologis seseorang. Garis tracking adalah asal-usul yang mengabarkan potensi ancaman yang melekat pada seseorang.

Jejaring garis tracking dari sekian banyak individu dalam kesatuan populasi yang ditimpakan pada satu bentang ruang bersama akan membentuk simpul-simpul yang mengedipkan lampu kuning atau merah.

Lampu berkedip berarti ada ancaman pada simpul tertentu yang kalau dalam jejaring jalur transportasi sering menginformasikan kemacetan pada simpul jaringan jalan. Jangan mendekati simpul merah, sebisa mungkin carilah rute yang tidak berisi kedipan lampu kuning agar perjalanan lancar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun