Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

3 Manfaat Menulis di Kompasiana

16 Maret 2020   15:45 Diperbarui: 17 Maret 2020   05:23 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang teman bertanya, apa yang kita peroleh dari hasil menulis di Kompasiana? Berapa honornya sekali tulisan kita tayang?

Pertanyaan tersebut sempat membuat saya bingung pada awalnya. Ya, capek-capek menulis bisa dapat duit berapa selain kesenangan melihat tulisan kita menjadi topik Pilihan Editor apalagi Artikel Utama?

Setelah menghela nafas sejenak, sambil menelusuri kembali niat saya menayangkan tulisan demi tulisan, saya mencoba memberikan kepada teman saya tadi gambaran manfaat yang saya peroleh dari kesenangan baru menulis, khususnya di Kompasiana.

Manfaat pertama adalah rasa memilki ruang untuk menyampaikan apa yang sedang menjadi uneg-uneg dalam benak.

Begitu banyak kejadian, peristiwa atau rangsangan dari luar yang memancing kita untuk bereaksi. Berkembangnya teknologi informasi semakin memudahkan keseharian kita untuk terpapar hal tersebut. Namun teknologi itu yang membuat rasa kedekatan dengan sesuatu isu justru secara fisik kita sebenarnya sedang berjauhan. Kepada siapa saya menyampaikan rasa gemas melihat alam lingkungan dirusak lalu membawa banjir ke perumahan kami? Haruskah saya mencari para pembuang sampah mulai dari hulu sungai agar mereka bertanggungjawab terhadap limbah yang mereka hasilkan agar tidak mengganggu kami yang tinggal di daerah hilir?

Tentu saja kita bisa menemui mereka satu persatu dan memberi pencerahan agar mereka tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Tapi saya bukan nabi yang ditugaskan oleh Tuhan berdakwah seantero negeri dan terus terang saya juga merasa kurang siap menghadapi kemungkinan penolakan frontal apalagi fisik dari mereka yang merasa terancam kelangsungan aktifitas penghidupannya. Bukankah Nabi dan Rasul dalam sejarah dakwahnya selalu mendapat tentangan, tantangan bahkan ancaman?

Menulis menjadi solusi menuangkan semua yang mengganjal dalam hati. Menulis memberikan kebebasan untuk mengalirkan semua argumen, pernyataan sampai simpulan tanpa ada yang memaksa jeda, selain kebuntuan pikiran sendiri. Tidak ada yang memaksa saya harus berhenti pada waktu yang mana sebagaimana juga tidak ada yang memerintahkan saya untuk segera memulai. Tidak juga ada yang memaksa saya harus menulis untuk mengomentari isu yang mana.

Selfish? Bisa ya bisa juga tidak. Namanya juga ruang publik. Ruang dimana semua ide, setiap gagasan dan seluruh pendapat dapat disandingkan, dibandingkan dan ditandingkan, kata Juergen Habermas. Ditinggalkan juga boleh karena perekat individu dengan individu dalam ruang publik sebenarnya longgar, beda kalau sudah menyempit ke ruang sosial. Saya mendelineasi ruang publik yang dijangkau oleh tulisan saya adalah jumlah yang melihat artikel yang saya tayangkan sedangkan watasan ruang sosial adalah jumlah yang memberi notifikasi, rating atau komentar. Ruang sosial memang lebih sempit dari ruang publik, namun ruang sosial memiliki intensitas interaksi yang lebih tinggi. Gemuruh yang coba saya apungkan dari dalam benak kemudian dapat saya nilai gemanya dari gradasi keduanya pada setiap artikel yang tayang. (Mudah-mudahan saya bisa melakukan elaborasi lebih jauh lagi nanti tentang tema ini).

Blog menjadi tumpuan untuk menampung semua tumpahan. Kalau saya merasa tuntas menulis tentang sesuatu dan saya pikir publik wajar untuk tahu apa yang saya pikirkan, saya dapat menayangkannya. Sebaliknya kalau belum puas, belum tuntas atau masih bingung yah simpan saja dulu sebagai draft. Ruang dalam blog, seperti Kompasiana, menjadi tempat yang baik hati menyimpan berkas-berkas tersebut.

Manfaat kedua dari menulis di blog ini adalah kenikmatan dan antusias menebak apakah artikel kita akan masuk sebagai PILIHAN, ARTIKEL UTAMA atau berkategori biasa saja. Saya berfikir positif, tidak menuntut atas setiap hasil pilihan Editor tersebut. Setiap artikel yang di-highlight, bukan terbatas pada artikel sendiri saja, merupakan rujukan untuk proses koreksi baik dalam menilai konten, memilih judul sampai mengatur alur kalimat. Apa yang dalam pandangan kita baik dan berkualitas ternyata belum tentu demikian dalam pandangan Editor, apalagi khalayak dunia maya.

Jangkauan khalayak artikel dapat kita lihat dari berapa yang melihat, paling tidak mereka yang pernah membuka tautan atau melakukan klik. Seluas itulah gagasan kita bergema di dunia maya. Masalah kualitas serahkan kepada respon pembaca. Highlight dari Editor merupakan satu cara untuk melihat sejauh mana kita mampu menuangkan isi pikiran menjadi tulisan yang kemudian berterima di publik. Highlight ini rasanya cukup menentukan jangkauan respon artikel kita.

Bagaimana kalau artikel kita tidak mendapat highlight? It's OK. Paling tidak saya sudah membuat dan menyusun rumusan sederhana dari apa yang saya lihat dari lingkungan keseharian, kemudian membuka kembali pengetahuan dan informasi apa saja yang saya miliki lalu merangkainya sebagai jawaban terhadap pertanyaan atau isu dari lingkungan tadi. Suatu saat bisa saja rangkaian-rangkaian artikel itu menjadi sesuatu, entah dalam bentuk buku atau bahan presentasi. Buku-buku yang saya miliki yang tadinya jarang saya lirik, apalagi dibaca, sekarang jadi berharga sebagai salah satu sumber awal sebelum mulai menulis. Literasi dimulai dari membaca dan berujung di tulisan. Menulis tanpa diawali dari bacaan yang jelas itu namanya up date status.

Manfaat ketiga lebih bersifat teknis. Pepatah kuno orang Arab mengatakan “apa yang sudah sempurna baru terlihat ketidaksempurnaannya”. Ini terasa ketika artikel yang rasanya sudah sempurna ternyata baru terlihat banyak kekurangannya ketika ditayangkan. Penulisan ejaan yang centang-perenang terjadi di sana-sini. Rujukan yang kurang informatif juga terkadang terasa. Membaca kembali tulisan sendiri yang tayang seringkali menunjukkan bahwa ternyata masih banyak typo yang saya lakukan. Satu detail yang juga sering saya perhatikan adalah pilihan Editor yang menambahkan gambar atau ilustrasi lalu saya bandingkan dengan isi, tema dan judul artikel.

Apalagi membandingkan dengan tulisan pada senior, para suhu yang menulis tema serumpun. Jam terbang mereka yang tinggi yang tergambar lewat aliran narasi sungguh menjadi cermin bening. Terus terang terkadang saya merasa iri dengan kemampuan mereka mengolah diksi yang sepintas sederhana namun ternyata kuat dan efektif.

Kesederhanaan merupakan hal yang terkadang rumit untuk diraih. Johan Cruyff, legenda sepakbola Belanda dan Barcelona, pernah mengatakan bahwa “sepakbola yang paling sulit adalah memainkan sepakbola sederhana”. Sepakbola sederhana yang dimaksud oleh Johan Cruyff sebagaimana yang diterapkan oleh klub Barcelona (dulunya sih) nyatanya enak ditonton, nikmat disaksikan dan menghanyutkan. Demikian pula membaca tulisan para senior. Pengalaman dari menulis di blog, menuju kesederhanaan ternyata tidak sederhana.

Bagaimana jadinya jawaban kepada teman yang saya ceritakan di awal?

Meski setiap orang butuh uang, tapi melalui proses menulis di KOMPASIANA saya jadi sadar kalau kualitas tulisan masih seperti sekarang, kualitas apa yang ada pada diri ini sehingga layak diganjar honor dengan standar tertentu? Bahasa gaulnya, “ngaca dulu!”. Bukankah rezeki sudah ada yang atur? Kita tinggal mengikuti saja prosesnya, dan rezeki tidak mesti dalam bentuk uang apalagi honor, karena banyak hal berharga dalam hidup yang tidak terukur dengan uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun