Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Covid-19, Sang Penakluk Aristokrat Ekologi

10 Maret 2020   19:02 Diperbarui: 10 Maret 2020   19:20 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan apakah kini kita menandai seseorang dalam ruang sosial atau ruang publik? Ketika identitas manusia kini terangkum dalam kode digital berupa angka biner 1 dan 0, eksistensi manusia dalam ruang fisik kini cuma ditandai dengan suhu badan tak beda dengan mengukur kematangan semangkuk air yang sedang direbus atau kesiapan hewan memasuki fase siap kawin untuk berkembang biak.

Tidakkah kita menyadari gejala dehumanisasi yang didorong oleh makhluk strata terendah dalam rantai makanan yang bernama virus itu? Struktur ekonomi dan struktur sosial yang selama ini diklaim hanya menjadi milik makhluk yang bernama manusia kini sedang terancam. Aristokrat ekologi itu kini bertekuk-lutut menghamba pada virus yang entah apakah punya mekanisme tersenyum dalam interaksi antar sesama virusnya.

Perspektif antroposentris buta yang gencar didorong, meski diam-diam, oleh korporasi global nyatanya hanya sesaat memberi keuntungan bagi manusia. Bahkan keuntungan ekonomi dan politik yang diakumulasi selama ini bisa jadi tergerus untuk menutupi lubang menganga akibat kebijakan publik yang abai terhadap etika lingkungan.

Kebiasaan politisi atau perumus kebijakan publik untuk menyamarkan sudut pandang dalam menghadapi isu publik tertentu nyatanya telah menghasilkan kegamangan dalam praktik. Kegamangan akibat tidak jelasnya landasan etik rumusan suatu kebijakan dikapitalisasi di lapangan oleh biroktrat dan korporat yang hanya mengejar prestasi atau keuntungan sesaat.

Sejenak cobalah perhatikan wacana publik yang diusung pemegang otoritas pada semua level pemerintah.

Dikarenakan tidak bisa menghapuskan nilai-nilai moral yang intrinsik dalam diri sebagai akibat dari interaksi lingkungan sosial dan budaya setempat, kewajiban untuk menjaga alam tidak pernah lupa disuarakan dalam bahasan normatif. Antroposentris memiliki sisi mulia dalam arti bertanggung-jawabnya manusia sebagai makhluk sempurna untuk memelihara alam beserta isinya.

Namun pada tahapan berikutnya nilai mulia ini mulai tergerus oleh kepentingan ekonomi dan politik. Untuk menutupi sifat eksploitatif terhadap alam, maka konsep daya dukung dan daya tampung diselewengkan sebagai pembenaran proporsal aktifitas yang potensial menggangu ekosistem. Konsep pertumbuhan ekonomi yang sarat keserakahan untuk terus-menerus menimbun kapital diperhalus dengan memasukkan variabel valuasi lingkungan. Artinya keunggulan nilai kehidupan dalam semesta diterjemahkan menjadi besaran moneter.

Tetiba saat dampak negatif ternyata tidak mampu dibendung atau divaluasi lengkap, maka digunakanlah perspektif teknosentris bahwa kemajuan manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya akan mampu menjawab semua masalah itu.

Nyatanya manusia sering mengulang kesalahan sebagaimana kejadian tumpahan minyak dari anjungan British Petroleum di Delta Mississippi yang mencemari sampai ke Teluk Mexico tahun 2010 silam. Beragam teknologi dikembangkan untuk mengatasi bencana lingkungan tersebut dan mengantisipasi kejadian serupa yang mungkin terjadi. Tatanan kebijakan yang terkait ditinjau kembali namun tidak ada yang berfikir untuk meninjau kembali cara dan gaya hidup manusia mengkonsumsi minyak (lihat Holmes Roston III, A New Environmental Ethics, The Next Millenium for Life on Earth, Routledge, 2012).

Akhirnya pandangan manusia sebagai makhluk berbudaya yang salah satunya dicirikan oleh kemampuan merespon lingkungan untuk keberlanjutan hidupnya juga menjadi olok-olok virus Covid-19. Etika lingkungan yang bagaimana sesungguhnya sedang kita junjung selama ini? Siapa sesungguhnya yang hari-hari ini berada di puncak rantai makanan?

Salam literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun