Tahapan pertama yaitu heuristik (mengenal dan menggali dari sumber informasi). Penguasaan tahapan ini akan melatih generasi muda memilah potensi sumber informasi yang bisa digali dan mencegah pemborosan energi. Hasil dari tahap ini kemudian dilanjutkan dengan tahapan kedua yaitu kritik sumber.
Tahapan ini melatih generasi muda untuk melakukan validasi dan verifikasi sumber informasi. Seseorang yang tidak terlibat dalam suatu peristiwa tidak bisa diandalkan menceritakan dengan detail suatu kejadian berdasarkan pandangan matanya sendiri. Bisa jadi dia hanya mendengar dan melakukan sharing dan forward berdasarkan cerita dari orang lain.
Dengan kemampuan melakukan kedua tahapan tersebut maka seseorang bisa meningkat ke tahapan ketiga yaitu melakukan penerjemahan peristiwa atau informasi. Kemampuan memahami kontek, baik lingkungan maupun waktu, penting untuk menerjemahkan suatu peristiwa. Kalau menggunakan kerangka logika, maka ketiga tahap tersebut di atas sudah memadai bagi seseorang untuk menyusun penalaran dan mendapatkan suatu konlusi.
Pengetahuan dan pemahaman kontek bisa digunakan sebagai premis mayor, sedangkan temuan informasi dari tahapan heuristik diletakkan sebagai premis minor. Kemampuan menyusun premis mayor dan premis minor yang teapot akan menghasilkan konklusi atau simpulan yang logis
Tahapan keempat atau terakhir dari metodelogi sejarah adalah historiografi atau penyajian hasil. Bagaimana sebuah historiografi dapat berkualitas sangat dipengaruhi oleh penguasaan ketiga tahapan sebelumnya lalu ditambah kemampuan atau bakat menulis seseorang.
Kalau kembali ke fenomena berita bohong (hoaks) di awal tulisan, maka terlihat bahwa penguasaan logika yang dilatih melalui metodelogi sejarah sebenarnya bisa menjadi penangkal yang ampuh. Faktanya kita lebih sering terpukau dengan narasi atau aspek historiografi lalu mengabaikan ketiga tahapan yang mendasarinya dalam berespon sebuah berita atau informasi. Dengan kata lain kita lebih sering mengabaikan kerangka penalaran atau logika sebuah informasi. Pengabaian itulah yang menjadi lahan subur tersebar-luasnya berita bohong.
Pendidikan pada dasarnya membekali peserta didik dengan penguasaan metode agar di masa depan mereka bisa melakukan penalaran logis sendiri terhadap setiap fenomena atau permasalahan yang dihadapi. Masalah atau tantangan generasi hari ini bisa jadi berbeda dengan generasi mendatang, apalagi dengan generasi terdahulu.
Maka yang penting diwariskan melalui pembelajaran adalah kemampuan menggali fakta, membaca informasi dan menyusun narasi. Pengajaran Sejarah bisa berperan dalam tugas ini, bukan menjejali kepala generasi muda dengan tumpukan data atau informasi yang tidak bisa mereka kelola.
Perkuat mereka dengan nilai luhur agama dari dalam keluarga, maka generasi muda akan mampu menjawab tantangan masa depan tanpa tercabut dari akar budayanya. Kecerdasan ditambah bekal spiritual adalah benteng penangkal ampuh terhadap berita bohong.
Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H