Sebenarnya apa manfaat menulis? Siapa juga yang akan baca nanti? Tugas menulis rasanya sudah selesai ketika menamatkan kuliah dulu. Perhatikan cover skripsi, thesis atau disertasi, sering ditulis dengan tambahan kalimat "untuk memenuhi sebagian persyaratan meraih gelar anu dalam anu". Sesederhana itu sebenarnya tujuan menulis.
Pertanyaan serupa awalnya sering muncul dalam benak saya ketika mendengar atau membaca saran orang untuk segera menulis. "Masa bodoh", fikir saya, tugas menulis di bangku kuliah sudah saya selesaikan. Saatnya masuk atau berada di dunia nyata, dunia yang butuh tindakan nyata, bukan tindakan di atas kertas. Aksi jauh lebih penting dari sekadar berwacana.
Nyatanya?
Riuh rendah, ragam pendapat dan komentar, sengkarut, carut marut dunia nyatanya bisa ditelusuri dan difahami dengan lebih jernih kalau sejenak kita bisa mengambil jarak terhadap setiap fenomena. Jangan tanya bagaimana media sosial turut membentuk keruwetan alur komunikasi di ruang publik. Berjarak membuat kita bisa mengenali pola, bahkan ragam komentar diri sendiri terhadap setiap isu yang kita ikut berkomentar di dalamnya.
Ketika Editor Kompasiana menawarkan topik pilihan, yang menggambarkan apa yang sedang bergemuruh di publik, pada awalnya saya sering merasa mampu memberikan sumbangan pendapat dan mampu diterima oleh publik, dalam hal ini Kompasioner minimalnya. Kesombongan karena merasa punya ilmu dan wawasan mendorong saya untuk segera mengambil laptop dan mulai menulis.
Semudah itu?
Nyatanya saya lebih sering merasa bingung sendiri. Apa sih yang sebenarnya saya maksud dalam tulisan yang sedang saya ketik? Semakin banyak yang saya tulis dan semakin saya baca ulang, ternyata semakin terasa betapa tidak jelasnya maksud pokok yang ingin saya sampaikan.
Tinggalkan dulu. Renungkan kembali apa yang mendorong saya menulis tentang sesuatu tema. Resapi kembali diksi dan terminologi yang saya pakai. Periksa kembali rangkaian penalaran yang saya bangun.
Hasilnya?
Ternyata diri ini memang manusia yang fakir dalam ilmu, picik dalam wawasan dan miskin dalam kosakata. Menulis ternyata membantu saya mengenal diri. Melalui tulisan, saya sebenarnya sedang berdialog dengan diri sendiri. Dari tulisan sendiri saya bisa sedikit belajar memahami apa isi benak. Keharusan merangkai kata dan kalimat adalah satu cara untuk menekan emosi.Â
Saya teringat dan lalu kagum betapa leluhur Nusantara memiliki kemampuan mengendalikan emosi yang tinggi, keluasan wawasan tentang alam sekitarnya dari kepiawaian mereka berpantun. Kalimat indah, berirama dan logis susunannya tapi tetap mampu menyampaikan pesan dengan efektif.
Sebagai pembaca saya mencoba merangkai maksud dan pesan yang terangkai dari tulisan. Sebagai penulis saya mencoba mengungkap apa yang ada dalam hati dan benak melalui tulisan. Harapannya memang interaksi yang terbangun antara pembaca dan penulis melalui tulisan adalah diskusi tentang sesuatu yang berkembang di lingkungan atau dalam sesuatu kontek tertentu yang disepakati.
Ketika apa yang saya ungkapkan sebagai penulis tidak terfahami dengan baik oleh saya sebagai pembaca, maka dalam komunikasi itu artinya tidak tersampaikannya suatu pesan dengan baik. Penyebabnya bisa dari proses penyusunan pesan berdasarkan informasi yang dimiliki dan kontek yang difahami (encoding) yang tidak optimal, centang perenang.Â
Penyebab lainnya adalah proses ketika penerima pesan, pembaca dalam hal ini, menguraikan pesan yang diterima (decoding). Belum lagi kalau dalam proses transmisi pesannya mengalami gangguan (noise). Terbayanglah potensi terjadinya miskomunikasi yang ternyata bisa berangkat dari pemberi pesan sendiri.
Menulis ternyata memberi saya kesempatan untuk mengambil jarak terhadap aliran narasi yang sedang saya susun. Jarak yang saya maksudkan adalah selisih atau kesenjangan apa yang saya maksudkan di awal menulis dengan apa yang kemudian tertuang dalam tulisan. Dengan berjarak maka saya bisa membangun horizon, cakrawala yang lebih lebar yang dengannya saya memiliki dimensi lebih luas mengenai apa yang saya hendak tampilkan.
Jangan tanya betapa penguasaan kosa kata saya masih sangat terbatas. Saya jadi sering membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk kemudian menyadari betapa banyak pilihan dan alternatif kata yang bisa digunakan. Membaca tulisan orang lain menjadi aktifitas yang semakin memperkaya cara pandang melalui pembandingan dengan cara saya menulis tentang isu atau tema yang sama.
Ungkapan bahwa peradaban dibangun melalui tulisan lalu terfahami detailnya. Terbayang kemudian bagaimana jaman dahulu ketika menulis bukan pekerjaan mudah namun tetap ada yang melakukannya. Menulis di pelepah pohon, lembaran lontar bahkan mengukir di batu dilakukan oleh mereka yang memilih jalan sepi.Â
Terbatasnya alat tulis tidak menghalangi para pujangga dan intelektual besar menulis gagasan dan pemikiran mereka. Jalan sepi menulis justru menjadi jalan menuju kemegahan. Belajar dari sejarah, menjadi naif karena ketika alat tulis dan peralatan menulis berlimpah di jaman modern namun menulis menjadi aktifitas yang terabaikan.
Manfaat lain yang saya peroleh dari menulis adalah ketika berdialog dengan sejawat, sahabat atau siapa saja, saya kemudian segera berupaya mengenali kata kunci, struktur kalimat dari mitra dialog saya. Istilah kerennya mencoba menangkap kerangka logis uraian, memahami kontek pembicaraan dan menerka konteks makna dari pilihan diksi.
Ya, dengan menulis saya jadi lebih banyak berdialog dengan diri saya.
Dari tulisan sendiri saya lebih mengenal apa yang sebenarnya bergejolak dalam jiwa saya sendiri. Lewat tulisan pula saya mengetahui seperti apa posisi saya dalam wacana sekitar. Dan terus menulis adalah proses pendewasaan.
Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H