"Apakah kau berpikir bahwa kau bisa membiarkan sekelompok orang terbelakang hidup bersama dengan orang-orang yang sudah maju, dan menciptakan Arcadia", "Apa kau ingin gerombolan Negro masuk ke sekolah-sekolah, gereja, dan gedung bioskop kita? Apa kau ingin mereka masuk ke dunia kita?"
(Go Set A Watchman, hal. 250 dan hal. 254)
Kasus rasisme merebak di beberapa tempat belakangan ini. Di Amerika Serikat, kita baru saja mendengar kabar baik putusan pengadilan yang memvonis Derek Chauvin, mantan anggota Polisi, atas kematian George Flyod, warga negara berkulit hitam. Rasisme di Amerika Serikat belakangan ini memang menguat. Pasca George Flyod, yang melahirkan gerakan Black Lives Matter, kali giliran warga negara keturunan Asia yang menjadi korban. Robert Aaron Long menembak mati delapan orang, enam diantaranya keturunan Asia, di tiga panti pijat di Atlanta.
Kasus rasisme juga menyasar dunia olahraga, tepatnya sepakbola. Lihat saja yang dialami Glen Kamara, pemain Rangers, yang mendapatkan kata rasis dari Ondrej Kudela, dari klub Slavia Praha, di ajang Liga Eropa. UEFA pada akhirnya menghukum larangan tampil 10 pertadingan kepada pemain tim nasional Republik Ceko itu. Kasus rasisme juga dialami Patrich Wanggai, pemain PSM Makasar, yang mengalami pengalaman pahit pasca pertandingan antara PSM Makasar dan Persija di kejuaraan Piala Menpora. Bedanya, tidak ada sanksi bagi para pelaku.
Sejak kapan rasisme terjadi? Saya belum tahu pasti, tetapi membaca Go Set A Watchman karya Harper Lee, rasisme yang terjadi di Amerika Serikat sudah berlangsung lama. Novel setebal 288 halaman ini  bersetting di Maycomb, negara bagian Alabama, yang merupakan salah satu pendukung Konfederasi dalam perang saudara (1861-1865). Maka, tidak heran buku ini sebenarnya ingin menggambarkan sisa-sisa perang keji tersebut. Apa itu?
Tokoh utama adalah Jean Louis Finch, dari keturunan Finch, yang merupakan keluarga yang dipandang hormat oleh penduduk setempat. Ia kehilangan ibu dalam usia yang masih muda dan tidak lama kemudian disusul oleh abangnya. Ini membuatnya sangat dekat dengan ayahnya, Atticus Finch. Untuk urusan rumah tangga, mereka dibantu oleh Calpurnia, perempuan berkulit hitam. Jean kemudian pindah ke Newyork, dan ayahnya, yang berprofesi sebagai pengacara, kemudian ditemani oleh adiknya, Alexandra Finch Hancok, perempuan yang digambarkan konservatif.
Konflik mulai terjadi ketika Jean mengikuti Ayahnya dan Henry Clinton, teman semasa kecil Jean dan abangnya yang berniat untuk menikahi Jean, di forum Dewan Warga. Di rapat itu Jean terguncang ketika mengetahui Atticus dan Henry mendukung pemisahan hak-hak sipil berdasarkan warna kulit, pemisahan antara kulit putih dan hitam. Selama ini Atticus mengajarkan keadilan pada Jean. Ayahnya tidak segan untuk menolong warga kulit hitam, tetapi pada akhirnya Jean mengetahui ayahnya melakukan hal itu karena sekadar ingin menegakkan hukum yang berlaku, bukan karena pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Sikap Atticus dan Henry merupakan cara hidup secara keseluruhan penduduk Maycomb, atau lebih tepatnya negara-negara bagian bekas pendukung Konfederasi yang sepertinya masih belum terima "peradaban" mereka dikalahkan dalam perang saudara. Salah satu faktor perang saudara adalah isu perbudakan. Negara-negara bagian yang tergabung di Union menentang sistem perbudakan yang berlaku di Selatan, yang umumnya bekerja di ladang kapas atau pertanian milik tuan-tuan tanah. Di bawah Abraham Lincoln, Amerika ingin menghapus perbudakan. Perang dimenangi Utara (Union). Namun, perang sesungguhnya belum berakhir. Selatan ingin mengembalikan hegemoni mereka, dan itu ditunjukkan dengan ketidaksetujuan terhadap kesetaraan hak-hak sipil bagi semua warga negara, termasuk kulit hitam.
Keputusan Mahkamah Agung yang memutuskan bahwa pemisahan sekolah berdasarkan warna kulit adalah tidak konstitusional, dan gerakan National Association for the Advancement of Colored People (NAACP) yang terus mempromosikan kesetaraan hak-hak sipil, semakin membuat Dewan Warga, termasuk Atticus dan Henry, untuk mempertahankan apa yang mereka sebut Cara Hidup Selatan. Bagi mereka orang kulit hitam adalah orang-orang terbelakang, secara pendidikan dan ekonomi, yang jika diberikan kebebasan dan kesetaraan justru akan membahayakan orang-orang Selatan. Peradaban. Itu intinya. Peradaban orang kulit hitam dianggap masih jauh tertinggal dibandingkan orang kulit putih.
Di titik inilah Jean Louis Finch melawan ayahnya. Ia sependapat jika masih banyak orang kulit hitam yang bodoh, buta huruf, kotor, pemalas, tetapi itu bukan alasan untuk meninggalkan mereka, apalagi turut dilegitimasi oleh hegemoni agama-dalam salah satu adegan di rapat Dewan Warga, ada anggota Dewan Warga yang percaya bahwa Yesus disalib bukan demi kemuliaan orang Negro-justru menurut Jean orang kulit putih wajib memberikan kesempatan yang sama bagi orang-orang kulit hitam untuk mengejar ketertinggalannya.
"Kau tak mau memberikan mereka harapan. Semua manusia di dunia, Atticus, semua manusia yang punya kepala, lengan, dan kaki, terlahir dengan harapan di hatinya", kata Jean kepada ayahnya (hal.259).