Usaha kami menemui titik terang. Alam semesta ternyata punya caranya sendiri untuk menolong sepasang insan yang sungguh-sungguh saling mencintai. Pembubaran paksa kembali terjadi pada September berikutnya.Â
Dan tahukah kalian, kami berada di sana. Mengerikan, kawan. Mereka berteriak, mengancam, dan melecehkan. Kami pada mulanya bertahan. Pilihan yang salah, karena itu menjadi alasan kuat bagi mereka untuk mulai memukuli siapa saja. Aku tidak tahu dari mana arah pukulan itu, tiba-tiba satu hantaman benda padat mendarat telak di kepala. Selebihnya yang aku ingat hanyalah ruangan serba putih berbau khas. Benar, aku terbaring di rumah sakit.
Pihak penyelenggara tidak tinggal diam. Lapor polisi, membuat surat pernyataan yang isinya mengutuk aksi biadab tersebut, dan mendampingi para korban, termasuk kami. Rupanya mereka adalah komunitas yang mempunyai mimpi yang sama dengan kami: memutus rantai dendam. Mereka yang mendirikan komunitas ini berasal dari keluarga yang dulu bertikai.Â
Tetapi mereka sepakat untuk saling memaafkan, dan juga sepakat untuk mencari kebenaran hakiki dengan jalan damai. Meskipun ujungnya tidak berakhir damai, terutama di setiap bulan September. Akhirnya kami mendapatkan caranya. Orang tua kami tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka, awalnya terpaksa, kini bisa menerima kehadiran kami. Dua identitas melebur untuk merayakan cinta.
***
"Ada yang ingin bertanya?"
Suara itu terdengar beberapa kali. Yang terakhir agak kuat dan berhasil membangunkan lamunanku. Dosen berkepala botak itu menatapku.
"Minggu depan, anda yang pertama presentasi makalah tentang perayaan dari masa depan," katanya sinis.
Tidak masalah. Kataku dalam hati sembari memberinya senyuman manis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H