Mohon tunggu...
Aminah Nur Habibah
Aminah Nur Habibah Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Sastra Indonesia FIB UI / teori sastra:"Ingatlah bahwa yang tertulis belum tentu tentang si penulis." / #singleproduktif #mandiriprestatif / @hijabangels / freelance www.abiummi.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Maukah Kamu Menua Bersamaku?

30 Oktober 2015   03:14 Diperbarui: 9 Februari 2016   10:56 1954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menanti saat kamu datang ke rumahku, mengetuk pintu, dan membicarakan tentang kita. Berbincang dengan orang tuaku agar mereka memberi restu atas perasaanmu. Aku belum terlalu mengenalmu, tapi ketahuilah, kamu terlihat sangat gagah saat berusaha menghalalkan rasa itu. Dan dengan pasti, aku menjawab lamaranmu berisyarat anggukan malu.

Aku menanti saat kamu duduk di sebelahku, mengucap ijab kabul yang diiringi tangisan bahagiaku.
Menyematkan cincin di jari manisku. Dan kita resmi menjadi satu.
Aku menanti saat terbangun dan kutemukan kamu di sampingku. Kemudian, aku menuju dapur dan menyiapkan sarapan untuk kita.

Aku menanti saat kita semakin menyatu, dalam buaian canda, rasa, dan gelora. Hingga aku tak malu lagi untuk memanggilmu “Mas,” dan kau tak ragu menyapaku “Dinda,”.
Aku menanti saat perutku membesar, menjadikanku tak cantik di mata manusia lainnya. Tapi kita berbahagia, karena inilah buah cinta bukti cinta kita.

Aku menanti saat aku mulai sulit bernapas, rasanya sakit sekali. Kamu di sampingku dan menggenggam tanganku seraya berucap, “Ayo Dinda, buah cinta kita sebentar lagi akan menemani kita”. Dan tangisan bayi kita kemudian terdengar.

Aku menanti saat anak pertama kita bertatih-tatih berjalan ke arah kita, memanggil kita dengan sebutan “Pa” dan “Ma”. Sungguh, kalianlah keluarga kecilku yang kucinta.

Dan aku menanti. Menanti saat anak-anak kita beranjak dewasa, sementara kita semakin menua. Tubuh kita yang semakin renta berbanding terbalik dengan cinta kita yang semakin tertata.

Tapi, tunggu dulu, aku ingin bertanya sebelum segala penantian itu. Maukah kamu menua bersamaku? Menghabiskan sisa hidupmu untuk berjuang bersamaku. Membagi kisah dan kelu dalam rumah tangga kita.

Memimpin doa-doa agar Tuhan sediakan rumah untuk kita di Surga sana. Menerimaku sepenuh hati, kelebihan dan keterbatasanku. Saling membuang ego dan berkomitmen setia untuk selamanya. Karena saat-saat yang kunanti takkan terwujud jika kau tak mau. Dan takkan ada kata “kita” bila kau tak datang. Sekali saja, bisikan jawabanmu padaku, bahwa kamu mau menua bersamaku.

Sumber Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun