Tanggung Jawab untuk Melindungi (Responsibility to Protect atau R2P) merupakan prinsip global yang dirancang untuk mencegah terjadinya kejahatan serius terhadap kemanusiaan, seperti genosida, pembersihan etnis, dan kejahatan perang. Prinsip ini menggaris bawahi kewajiban negara untuk melindungi warganya dari kekejaman tersebut, sekaligus menetapkan peran komunitas internasional dalam memberikan bantuan atau mengambil tindakan ketika negara gagal melaksanakan tanggung jawabnya.Di kawasan Asia Tenggara, prinsip ini relevan mengingat tantangan yang dihadapi beberapa negara anggota ASEAN dalam melindungi hak asasi manusia. Krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar, misalnya, menjadi contoh nyata bagaimana kegagalan negara dalam melindungi warganya menciptakan dampak luas, baik secara regional maupun global. ASEAN, sebagai organisasi regional, berada dalam posisi strategis untuk memainkan peran penting dalam menerapkan R2P sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia di kawasan.
Tulisan ini berusaha mengeksplorasi bagaimana konsep R2P dapat diterapkan di ASEAN, dengan menyoroti peluang, tantangan, dan tanggung jawab kolektif negara-negara anggota dalam mendorong perlindungan hak asasi manusia. Dengan demikian, diharapkan diskusi ini dapat memberikan wawasan baru tentang pentingnya kolaborasi regional dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan di tengah kompleksitas politik dan budaya Asia Tenggara.
 PEMBAHASAN
Sekilas, sebenarnya ASEAN memiliki ASEAN Intergovermental Commision of Human Rights (AICHR). Di dalam Term of References dijelaskan bahwa dalam rangka menjalankan  tugas, Badan HAM ini harus menghormati prinsip yang tercantum di dalam Pasal 2 Piagam ASEAN. Jika dicermati, terdapat kontra argumen dalam penerapannya. Di satu  sisi, AICHR bertindak sebagai Badan HAM yang memiliki tugas promosi dan perlindungan hak asasi, di sisi yang lain harus menghormati prinsip yang dianut ASEAN yaitu, prinsip nonintervensi. Maka, sangat wajar apabila sampai saat ini, AICHR seolah-olah sebagai macan tanpa taring karena kedudukannya sangat pasif dan statis.seperti kasus Rohingya akan terulang kembali. Padahal, salah satu bentuk pencegahan adalah dengan menerapkan responsibility to protect. Sebagaimana responsibility to protect adalah prinsip yang lahir di badan PBB dan dieksekusi oleh Dewan Keamanan PBB karena hanya organ inilah yang memiliki fungsi spesifik dalam upaya menjaga stabilitas keamanan internasional. Kendati lahir dan dieksekusi oleh PBB, responsibility to protect dapat diterapkan di wilayah ASEAN dengan cara melakukan KTT ASEAN.Konferensi ini dilakukan dalam rangka mewujudkan pasukan penjaga perdamaian (peackeeping force) dalam tingkat ASEAN dan melakukan amandemen Piagam ASEAN. Dua hal ini sangat diperlukan untuk menerapkan responsibility to protect di ASEAN.[1]
Â
Sebagaimana organisasi lainnya, puncak suatu organisasi terjadi pada saat pertemuan semua kepala negara yang disebut KTT. KTT ASEAN merupakan forum pertemuan kawasan yang bersifat terbuka guna membahas isu ekonomi dan politik yang menjadi perhatian bersama dalam rangka mewujudkan perdamaian dan stabilitas kawasan. Oleh karena itu, KTT adalah kesempatan untuk mewujudkan responsibility to protect dengan dua langkah di atas. Pertama, mewujudkan pasukan penjaga perdamaian dalam tingkat ASEAN. Sejatinya, pasukan penjaga perdamaian memang tidak diatur secara khusus di dalam Piagam PBB, namun dapat ditemukan di dalam Pasal 29 yang menyatakan: "...Peacekeeping as such, is not specially provided for in the Chapter, except for the provision that The Security Council may establish such subsidiary organs as it deems necessary for the performance of its functions."Pasukan Penjaga Perdamaian PBB ini, baik militer, polisi atau sipil dalam menjalankan mandatnya, diwajibkan untuk menghormati hak asasi sekaligus memajukan HAM.Â
Dengan demikian, pasukan penjaga perdamaian ini dapat merespon secara tepat sesuai mandat yang diterima. Langkah kedua yaitu melakukan amandemen Piagam ASEAN khususnya mengenai prinsip nonintervensi. Sebagaimana perjanjian internasional pada umumnya, Piagam ASEAN telah menjadi perjanjian yang bersifat iktikad baik (good faith) antar para pihak, sehingga berimplikasi terhadap semua negara anggota ASEAN yang telah meratifikasi. Akibatnya, perjanjian yang tercantum di dalam Piagam ASEAN ini mengikat seluruh negara dan mewajibkan para pihak untuk melaksanakannya dengan iktikad baik. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan untuk diadakan amandemen dalam perjalanannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kholis Roisah bahwa dalam konteks hukum perjanjian internasional, amandemen harus dilakukan secara formal dengan tujuan mengubah ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan semua pihak, Di dalam Pasal 49 mengatur mengenai tata cara amandemen, di mana setiap negara dapat mengusulkan amandemen yang diajukan kepada Dewan Koordinasi ASEAN secara konsensus agar diputuskan pada saat Konferensi Tingkat Tinggi. Supaya amandemen ini dapat terlaksana, harus ada suatu negara yang memulai mengusulkan amandemen. Terlepas dari negara yang memiliki inisiatif untuk mengusulkan amandemen, perubahan perjanjian internasional ini harus mencakup hal yang mendasar yaitu amandemen terhadap prinsip nonintervensi. Dengan demikian, sudah seharusnya prinsip nonintervensi diberi ruang pengecualian layaknya prinsip nonintervensi yang diatur di dalam piagam PBB, sehingga prinsip ini tidak lagi bersifat absolut dan kaku. Pengecualian di sini adalah sebuah keadaan yang memungkinkannya dilakukan sebuah intervensi kemanusiaan. Dengan mengamandemen prinsip nonintervensi yang diatur di dalam Piagam ASEAN, maka intervensi kemanusiaan yang akan dieksekusi oleh pasukan penjaga perdamaian ASEAN memiliki payung hukum dan tidak melanggar hak asasi.
Â
Hasilnya, Pasal 14 Ayat 1 yang berbunyi, "Selaras dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Piagam ASEAN terkait dengan pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan kebebasan fundamental, ASEAN wajib membentuk badan hak asasi manusia ASEAN" akan bersifat dinamis. Dengan kata lain, AICHR tidak lagi menjadi badan yang bersifat pasif karena prinsip nonintervensi telah memberikan ruang kepada AICHR untuk menjadi badan yang dapat menyelesaikan suatu konflik dengan keadaan tertentu.Sebagaimana dua tujuan tersebut, yaitu mewujudkan peackeeping forces ASEAN sebagai taring dalam menjaga stabilitas keamanan dengan payung hukum prinsip nonintervensi yang telah diamandemen, responsibility to protect dapat diterapkan di dalam tubuh ASEAN. Apabila negara-negara anggota khawatir bahwa ASEAN tidak memiliki wewenang untuk melakukan intervensi kemanusiaan, terdapat tiga alasan yang menjadi landasan dalam artikel ini.[2]Â
Pertama, wewenang PBB terhadap organisasi regional yang sejatinya Pasal 53 ayat 1 Piagam PBB telah memunculkan dasar hukum yang menyatakan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menggunakan organisasi regional untuk melakukan tindakan pemaksaan. Jika diteliti kembali, pasal ini merupakan wujud desentralisasi antara PBB kepada organisasi regional karena memberikan wewenang kepada organisasi regional untuk melakukan suatu tindakan intervensi. Sehingga, responsibility to protect yang diterapkan di ASEAN tidaklah bertentangan secara hukum karena sudah diatur di dalam Piagam PBB itu sendiri.
Â