Mohon tunggu...
Amilatur Rohma
Amilatur Rohma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Physics Student | Content Writer | Social Media Enthusiast

A Marketer who enthusiasting on writing. Menulis untuk menyampiakan hal yang tak mampu diucapkan oleh lisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stop Normalisasi Over Consumption yang Berujung Sampah Itu

28 Oktober 2024   16:20 Diperbarui: 28 Oktober 2024   16:39 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tren over consumption atau konsumsi berlebihan belakangan ini semakin marak. Meskipun masih belum banyak disadari oleh masyarakat, Over Konsumsi terutama dalam industri fast fashion ataupun skincare sudah menjadi isu sosial yang merugikan banyak pihak dan memicu kerusakan lingkungan.

Apa itu Over Consumption?

Pertama, kita harus memahami pengertiannya. Over consumption adalah konsumsi berlebihan terhadap sumber daya yang berlebihan tanpa batas dan melakukan pembelian secara impulsif dalam jumlah banyak.

Dari pengertian, kita bisa tau mengapa hal ini bisa menjadi isu sosial. Bayangkan jika di dalam satu komunitas ada 4 orang didalamnya, mereka selalu membeli baju baru setiap seminggu sekali karena merasa baju yang mereka beli minggu kemarin ketinggalan zaman dan harus beli lagi untuk mengikuti tren. Perilaku pembelian secara impulsif ini bisa menambah jumlah limbah sampah. Padahal sebenarnya baju-baju lama masih dapat dipakai daripada menambah sampah dan mendukung sikap Over consumption.

Selain itu pada ranah skincare pun, over konsumsi mulai merebak semenjak brand skincare bermunculan di e-commerce. Ada kebiasaaan yang tumbuh di masyarakat bahwa pengguna skincare harus mempunyai semua jenis dan varian, makeup harus punya semua shade. Padahal, kamu cukup menggunakan satu jenis skincare dan makeup yang cocok untuk kulitmu. 

Fast Fashion dan Dampaknya bagi Konsumsi Berlebihan

Ngomongin over consumption ga akan jauh-jauh dari fast fashion. Fast fashion adalah produksi pakaian yang berfokus pada kecepatan dan harga murah. Belakangan ini semakin banyak merek lokal di e-commerce, terus memproduksi pakaian dalam jumlah besar dan untuk mengikuti tren fashion terkini dan dijual sangat murah. Selain itu, proses produksi fast fashion juga seringkali memanfaatkan tenaga kerja murah dengan kondisi kerja yang tidak manusiawi. 

Fast fashion memang menarik bagi konsumen. Jaminan untuk terus mengupdate penampilan tanpa perlu menguras dompet. Akan tetapi, di balik keuntungan tersebut, ada dampak negatif yang jarang disadari oleh konsumen.

Fast fashion menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Melansir dari Patagonia, sebuah merek pakaian outdoor dari Amerika Serikat, banyak merek yang sengaja memproduksi pakaian agar rusak setelah beberapa kali dipakai, sehingga konsumen akan kembali lagi untuk membelinya. Pakaian yang diproduksi dalam waktu singkat dan dijual dengan harga murah sering kali tidak tahan lama. Karena bahannya tidak berkualitas baik, alhasil jadi cepat rusak. Akibatnya, pakaian-pakaian ini cepat dibuang dan ujung-ujungnya menciptakan limbah tekstil yang sangat sulit didaur ulang. 

Pengaruh Besar Social Commerce 

Bisa dibilang social commerce memberikan pengaruh besar terhadap perilaku over consumption. Platform social commerce seperti TikTok, Shopee, Lazada, dan berbagai e-commerce lainnya telah mengubah cara kita berbelanja. Mereka mempermudah akses konsumen ke barang-barang fashion dengan harga yang sangat terjangkau, dan bahkan kadang memberikan diskon besar atau gratis ongkir. 

Dengan beragam dan banyaknya konten-konten promosi yang bisa ditonton di e-commerce, pengguna bisa menghabiskan berjam-jam untuk scrolling. Karena kita sering sekali melihat konten-konten tersebut, secara tidak sadar masuk ke alam bawah sadar dan menjustifikasi bahwa berbelanja barang-barang yang dipromosikan tersebut hal yang normal dan harus dilakukan. 

Belum lagi adanya fitur live shopping yang ditawarkan memungkinkan konsumen untuk melihat produk secara langsung, berinteraksi dengan penjual, dan membeli produk dalam hitungan detik. Ini menciptakan pengalaman berbelanja yang instan dan impulsif, mendorong konsumen untuk membeli lebih banyak dari yang mereka butuhkan. Hal ini tentu sangat tidak normal.

Sebagai contoh, banyak pengguna TikTok yang tertarik membeli barang hanya karena melihat review atau rekomendasi dari pengguna lain yang dikenal sebagai key opinion leaders atau KOL. Akibatnya, barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan pun dibeli hanya karena keinginan untuk mengikuti tren.

Peran Influencer Culture

Produk yang laris dijual di social commerce tidak hanya dipromosikan langsung oleh akun resmi dari produk tersebut, namun promosi juga dilakukan para influencer. Kebanyakan influencer di berbagai media sosial menjadikan promosi dan endorsement sebagai bagian dari internet presence-nya. Banyak orang yang membeli barang tertentu karena mereka terpengaruh promosi semacam ini. 

Influencer culture adalah fenomena di mana seseorang dengan jumlah pengikut yang besar di media sosial memiliki pengaruh besar terhadap keputusan konsumen. Influencer sering kali mempromosikan produk fast fashion dengan mengunggah foto atau video yang menunjukkan bagaimana mereka menggunakan produk tersebut, sering kali dalam bentuk yang sangat menarik dan dikemas dengan gaya hidup yang terlihat sempurna. 

Produk fast fashion dipromosikan dengan memberikan inspiration look seperti tren OOTD (Outfit of the Day) dan skincare dipromosikan dengan bagaimana mereka mengaplikasikan produk di wajah mereka dan menawarkan paket bundling dengan harga miring. Para influencer ini memberikan pengaruh sangat masif untuk mendorong pengikut mereka terus-menerus membeli barang-barang yang mirip dengan yang mereka kenakan. Apalagi produk yang dipromosikan oleh influencer yang sudah dilabeli dengan sebutan beauty influencer atau fashion influencer,  hal itu menjadi salah satu alasan semakin banyak orang yang mengikutinya.

Memang kita tidak bisa mengendalikan influencer karena itu bagian dari pekerjaan mereka. Para influencer memang dibayar untuk mempromosikan dan mengajak followernya untuk berbondong-bondong berbelanja lewat endorsement. Akan tetapi, kita sebagai konsumen bisa dan berhak untuk bijak dalam mengambil keputusan sebelum membeli. 

Bagaimana Kita Bersikap?

Fenomena over consumption dalam fast fashion ini memang sulit untuk dihentikan sepenuhnya, terutama dengan dorongan dari social commerce dan influencer culture yang begitu masif. Namun, masih ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan sebagai konsumen untuk mengurangi dampak negatif dari konsumsi berlebihan ini. 

Alih-alih membeli pakaian baru hanya karena sedang tren, kita bisa fokus pada membeli pakaian yang berkualitas dan tahan lama, jadi tidak sering beli. Ketika berbelanja di platform e-commerce atau social commerce, pastikan untuk mengecek kebutuhan kita sebelum menekan tombol "beli". Daur ulang jika memiliki pakaian yang sudah tidak terpakai, coba untuk menurunkan kepada saudara  jika masih benar-benar layak  pakai atau mendonasikannya daripada langsung dibuang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun