Mohon tunggu...
Amilatur Rohma
Amilatur Rohma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Physics Student | Content Writer | Social Media Enthusiast

A Marketer who enthusiasting on writing. Menulis untuk menyampiakan hal yang tak mampu diucapkan oleh lisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stop Normalisasi Over Consumption yang Berujung Sampah Itu

28 Oktober 2024   16:20 Diperbarui: 28 Oktober 2024   16:39 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi over consumption (sumber: eco-stylist)

Sebagai contoh, banyak pengguna TikTok yang tertarik membeli barang hanya karena melihat review atau rekomendasi dari pengguna lain yang dikenal sebagai key opinion leaders atau KOL. Akibatnya, barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan pun dibeli hanya karena keinginan untuk mengikuti tren.

Peran Influencer Culture

Produk yang laris dijual di social commerce tidak hanya dipromosikan langsung oleh akun resmi dari produk tersebut, namun promosi juga dilakukan para influencer. Kebanyakan influencer di berbagai media sosial menjadikan promosi dan endorsement sebagai bagian dari internet presence-nya. Banyak orang yang membeli barang tertentu karena mereka terpengaruh promosi semacam ini. 

Influencer culture adalah fenomena di mana seseorang dengan jumlah pengikut yang besar di media sosial memiliki pengaruh besar terhadap keputusan konsumen. Influencer sering kali mempromosikan produk fast fashion dengan mengunggah foto atau video yang menunjukkan bagaimana mereka menggunakan produk tersebut, sering kali dalam bentuk yang sangat menarik dan dikemas dengan gaya hidup yang terlihat sempurna. 

Produk fast fashion dipromosikan dengan memberikan inspiration look seperti tren OOTD (Outfit of the Day) dan skincare dipromosikan dengan bagaimana mereka mengaplikasikan produk di wajah mereka dan menawarkan paket bundling dengan harga miring. Para influencer ini memberikan pengaruh sangat masif untuk mendorong pengikut mereka terus-menerus membeli barang-barang yang mirip dengan yang mereka kenakan. Apalagi produk yang dipromosikan oleh influencer yang sudah dilabeli dengan sebutan beauty influencer atau fashion influencer,  hal itu menjadi salah satu alasan semakin banyak orang yang mengikutinya.

Memang kita tidak bisa mengendalikan influencer karena itu bagian dari pekerjaan mereka. Para influencer memang dibayar untuk mempromosikan dan mengajak followernya untuk berbondong-bondong berbelanja lewat endorsement. Akan tetapi, kita sebagai konsumen bisa dan berhak untuk bijak dalam mengambil keputusan sebelum membeli. 

Bagaimana Kita Bersikap?

Fenomena over consumption dalam fast fashion ini memang sulit untuk dihentikan sepenuhnya, terutama dengan dorongan dari social commerce dan influencer culture yang begitu masif. Namun, masih ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan sebagai konsumen untuk mengurangi dampak negatif dari konsumsi berlebihan ini. 

Alih-alih membeli pakaian baru hanya karena sedang tren, kita bisa fokus pada membeli pakaian yang berkualitas dan tahan lama, jadi tidak sering beli. Ketika berbelanja di platform e-commerce atau social commerce, pastikan untuk mengecek kebutuhan kita sebelum menekan tombol "beli". Daur ulang jika memiliki pakaian yang sudah tidak terpakai, coba untuk menurunkan kepada saudara  jika masih benar-benar layak  pakai atau mendonasikannya daripada langsung dibuang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun