Permasalahan energi menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Seiring bertumbuhnya populasi yang meningkat, maka semakin banyak kebutuhan energi listrik yang harus disalurkan ke tiap pengguna. Sumber energi listrik yang ada saat ini masih bergantung pada sumber energi yang terbatas seperti fosil, batubara, gas alam dan bahan bakar minyak (BBM). Jika sumber energi tersebut digunakan secara terus menerus, maka suatu saat energi tersebut akan habis. Peningkatan konsumsi tanpa eksplorasi tentunya membuat kita semakin dekat dengan krisis energi. Belum lagi masalah emisi yang dilepaskan. Energi menjadi 90% penyumbang emisi global karena lebih dari 80% sumbernya masih energi fosil.
Saat ini penggunaan sumber energi di dunia masih didominasi oleh energi fosil, yaitu 65%, sedangkan porsi energi terbarukan baru mencapai 10%, dan nuklir 4,5% (Dewan Energi Nasional, 2021). Cita-cita dunia untuk menuju Net Zero Emission (NZE) atau bebas dari emisi karbon adalah transisi energi akan membalik posisi tersebut menjadi 90-95% energi bersih dan 5-10% energi fosil. Risiko penggunaan fosil bukan hanya terletak pada kesediaannya, namun juga dari emisi yang dihasilkan mengakibatkan perubahan iklim yang tentunya berdampak panjang di masa mendatang.
Net Zero Emission
Net zero emission sebenarnya sudah diperkenalkan sejak 2008, namun belakangan NZE kian menjadi sorotan setelah Konferensi Tingkat Tinggi Iklim di Paris pada 2015 yang mewajibkan negara industri dan maju mencapai nol-bersih emisi pada tahun 2050. Di Indonesia sendiri, target NZE mulai menghangat dan ambisius untuk dicapai sejak Maret lalu ketika Direktur Jenderal Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempresentasikan terkait Long Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050. Hasilnya, Indonesia menargetkan akan mencapai kondisi NZE 20 tahun lebih lama dari yang ditargetkan dalam Perjanjian Paris yaitu pada tahun 2070. Sedangkan pada Mei lalu, Pemerintah melalui Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi mengumumkan bahwa target NZE Indonesia adalah tahun 2060 atau lebih cepat.
Net zero emission merujuk pada kondisi nol bersih emisi yaitu ketika sisa emisi gas rumah kaca diseimbangkan oleh teknologi yang menghilangkannya dari atmosfer. Istilah nol bersih emisi ini tidak serta merta memberikan pengertian bahwa manusia benar-benar berhenti memproduksi emisi alias emisi yang dihasilkan nilainya nol. Manusia sendiri menghasilkan karbon. Secara alamiah, selama manusia masih bernapas, maka emisi karbon akan selalu ada. Pohon, tanaman hijau dan perairan sebenarnya mampu menyerap karbon secara alami melalui fotosintesis. Namun, apa yang terjadi jika karbon yang ada terlepas ke atmosfer, menebal kemudian memantul kembali ke bumi. Maka terjadilah efek rumah kaca yang biasa kita sebuat dengan Global Warming atau pemanasan global.
Transformasi ke Energi Baru dan Terbarukan
Permasalahan energi bukan hanya memberikan konsekuensi perubahan iklim namun membutuhkan solusi mengenai alternatif penggunaan energi selain dari sumber daya yang selama ini digunakan. Mengingat kebutuhan listrik nasional akan semakin meningkat, Indonesia dituntut melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan eksplorasi sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang bersih dan terjangkau sekaligus sebagai upaya pelestarian lingkungan. Indonesia memiliki banyak sekali potensi sumber energi terbarukan (renewable energi) yang lebih ramah lingkungan seperti pemanfaatan aliran sungai, bayu, ombak dan cahaya matahari. Karena itu, menaikkan bauran energi terbarukan menjadi salah satu cara mencapai net zero emissions. Lantas apa yang bisa kita lakukan, setidaknya dalam tingkatan individual?
“Masa depan dunia lebih banyak ditentukan moralitas keputusan kita sekarang”. (Soedjatmoko-Intelektual Indonesia)
Langkah yang bisa kita lakukan untuk mengurangi emisi adalah dengan mengoptimalkan potensi sumber daya alam sebagai sumber energi baru dan terbarukan. Kita harus bersyukur bahwa sepanjang tahun, Indonesia disinari matahari. Sumber energi yang kadangkala membuat kita kepanasan karena teriknya ini sangat potensial untuk dikembangkan. Potensi pengembangan energi surya sangat besar, tercatat menurut EBTKE ESDM (2019), Indonesia memiliki potensi energi surya sebesar 207.898 MW (4,80 kWh/m2/hari). Angka yang sangat besar dibandingkan dengan penggunaannya yang baru sekitar 0.05%. Potensi tesebut didukung pula oleh intensitas radiasi matahari rata-rata 2.5 kWh/m2 hingga 5.7 kWh/m2. Apa yang bisa kita lakukan? Mengoptimalkannya dengan membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) tentunya.
Untuk mempercepat pengembangan EBT, rupanya Pemerintah Indonesia juga telah menyiapkan roadmap dan mendorong pengembangan industri panel surya. Setidaknya usaha itu dapat dilihat dari pertumbuhan sel surya yang mencapai 486% dalam tiga tahun terakhir. Komitmen ini harus terus dijaga dengan menaikkan kapasitas pembangkit, merealisasikan industri hijau dan mendorong instalasi PLTS di tingkat rumah tangga. Salah satu alasan terbesar PLTS sulit berkembang di Indonesia adalah biaya investasi. Biaya instalasi panel surya memang tidak murah, namun jika pemerintah benar-benar berkomitmen serta dengan tegas menciptakan harga yang kompetitif, maka tidak mustahil dalam beberapa tahun ke depan, energi di Indonesia akan didominasi oleh pembangkit listrik tenaga surya.
Ekspedisi Energi di Dusun Bajo, Buton
Mengajak seluruh negeri untuk beralih ke PLTS memang belum dapat saya lakukan, namun setidaknya sebagai individu yang dibekali pengetahun, inilah perjalanan intelektual bercampur pengabdian yang bisa saya sumbangkan. Melalui ekspedisi energi di Dusun Bajo yang saya dan rekan lakukan September lalu sebagai bentuk mendukung NZE sekaligus bakti kecil kami untuk mendukung pemerataan energi di Indonesia.
Sedikit gambaran, untuk beraktivitas sehari-hari masyarakat Dusun Bajo di Kecamatan Lasalimu Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara sangat mengandalkan alam; laut sebagai mata pencaharian dan matahari sebagai sumber penerangan. Tidak ada listrik disana. Untuk menjangkau dusun tersebut pun hanya dapat diakses menggunakan perahu dan menyusuri sungai diantara hutan mangrove. Perahu yang mereka gunakan untuk transportasi dan mengangkut es batu untuk menyimpan ikan dari daratan memakai mesin diesel dengan bahan bakar bensin. Hal sehari-hari namun emisinya terasa sekali.
Pada tahun 2019, listrik baru masuk kesana melalui bantuan Pemerintah, satu rumah satu panel surya. Oleh sebab itu, PLTS yang kami bangun diprioritaskan untuk membuat es batu (ice maker). Dengan begini, warga dapat menggunakan es batu yang diproduksi sendiri untuk memperpanjang umur ikan sekaligus membangkitkan perekonomian.
Small changes can make a big difference
Untuk merancang sebuah set PLTS yang mempunyai kapasitas untuk dapat membekukan 100 kg es dengan daya 250 W dibutuhkan 8 buah modul panel surya, 8 buah baterai, inverter berserta material pendukung lainnya. Perubahan tidak selalu membutuhkan investasi besar. Biaya investasi yang dihabiskan sekitar 60 juta namun sebanding dengan pemakaiannya selama ±25 tahun asal dilakukan maintenance dan penggantian baterai dengan tepat.
Untuk analisis dampak lingkungan, penggunaan teknologi PLTS memiliki keunggulan dalam aspek lingkungan karena tidak menghasilkan emisi. Kita bandingkan dengan pengoperasian PLTU berbahan bakar batu bara maupun solar yang menghasilkan emisi CO2. Untuk membangkitkan listrik dengan menggunakan PLTU menghasilkan residu CO2 sebesar 0,719 kg CO2/kWh. Jika diasumsikan kebutuhan listrik tiap rumah tangga (Rerata 3 orang) di Dusun Bajo adalah 3.426 kWh menggunakan PLTU maka pemenuhan kebutuhan listrik Dusun Bajo memiliki potensi pencemaran CO2 sebesar 0,719 x 3.426 kWh/Tahun = 2463,3 kg CO2/tahun. Sedangkan PLTS tidak memiliki potensi emisi CO2 selama pemakaiannya sehingga patut dikembangkan dan dipromosikan karena benar-benar bersih dari emisi.
Bagaimanapun, konsep NZE bukan perubahan instan setahun dua tahun yang langsung menunjukkan efeknya. Transisi energi tentunya membutuhkan cost yang sangat besar. Bisa jadi utang Indonesia akan semakin membengkak nih. Namun, hal itu dapat diantisipasi jikalau Pemerintah dan masyarakat serius dan bersinergi; Pemerintah dengan merancang transisi energi yang berkeadilan dan masyarakat dengan memperbaiki lingkungan sekitar.
Pada akhirnya, perlu kita pahami dan sadari bahwa bumi adalah tanggung jawab manusia. Manusia hidup ditopang oleh alam sudah sepatutnya kita memberikan penghargaan tertinggi untuk alam dengan menjaganya, mengeksplorasinya bukan malah menyia-nyiakan dan merusaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H