Di zaman yang serba maju dan global seperti saat ini memang memberi dampak yang luar biasa bagi masyarakat kita, termasuk pada pola pikir dan obsesi pribadi masing-masing individu, yang cenderung ber"orientasi" pada materi atau hal yang bersifat "kebendaan". Hal tsb membuat "prestise" atau kebanggaan diri terhadap materi mengalahkan segalanya, termasuk soal ibadah kepada Sang Pencipta, dan juga berbagi dengan sesama. Masyarakat kita dipacu untuk bekerja keras dari pagi hingga malam, untuk mendapatkan materi yang berlimpah, misalnya uang yang banyak, rumah yang mewah, barang yang mahal, dan juga kendaraan pribadi yang bagus, meski harus dimiliki secara kredit. Hidup layak dan penghargaan dari orang lain seakan menjadi "target utama".Â
Tentu tidak ada yang salah dengan hal tsb. Agama Islam pun tidak melarang Umatnya untuk kaya raya, bahkan sangat menganjurkan umatnya untuk bekerja keras dan menjadi orang kaya. Kemiskinan justru mendekatkan pada kekufuran. Namun tentu saja kekayaan tsb harus menjadikan manusia menjadi lebih taat dan bertakwa kepada Allah SWT, selain tentunya juga memberi "manfaat" bagi sesama yang kondisinya jauh di bawah atau tidak mampu.Â
Bukan malah menumpuk-numpuk harta untuk kesenangan dan kebanggaan pribadi. Padahal dalam agama Islam sendiri telah diajarkan bahwa dalam harta yang kita miliki, ada hak untuk kaum dhuafa atau fakir miskin. Karena itulah Islam mengajarkan zakat, infak, sedekah, dan juga qurban untuk merepresentasikan hal tsb.
Masalah Ibadah memang masalah hati, yang tidak bisa dipaksakan. Semua tergantung dari niat yang tulus dan tekad yang kuat. Tanpa kedua hal tsb, rasanya sulit kita untuk melakukannya, termasuk untuk berqurban. Masalahnya bukan pada "kemampuan materi", melainkan pada "kemauan dan kesadaran pribadi".Â
Tak jarang orang beralasan untuk apa beramal seperti bersedekah, untuk apa berqurban, Â kalau tidak ikhlas dan terpaksa, tentu tidak akan menjadi pahala?! Masalahnya, bagaimana hati kita bisa ikhlas dalam beramal, bila tidak dipupuk dan dididik untuk melakukannya?! Jangan sampai hati menjadi "keras" dan "berkarat", hingga tak mampu menampung petuah dan nilai-nilai kebajikan, yang membuatnya tak mampu juga untuk melakukan kebajikan. Tentu kita sendiri yang akan merugi di hadapan Sang Pencipta, Allah SWT.
 Tidak ada UU yang mengatur soal qurban ini, namun tentu ajaran agama dan ketentuan Allah SWT seharusnya mampu menjadi "pemacu" kita untuk beribadah semaksimal mungkin tanpa memilih-milih ibadah mana yang sesuai dengan "selera" Kita. Dan hendaknya momentum "Idul Adha" yang didalamnya termasuk ibadah qurban selain ibadah Haji, kita gunakan untuk "merefleksi diri" sejauh mana kita telah beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, sekaligus memberi manfaat bagi orang lain, terutama orang yang tidak mampu. Wallahu alam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H