Mohon tunggu...
Amie Primarni
Amie Primarni Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan Pemerhati Pendidikan Holistik

Amie Primarni Dr, lahir dan tumbuh besar di Jakarta. Ayahnya M. Tabrani asli Pamekasan, Madura. Ibu Siti Sumini asli Jogjakarta. Aktif sebagai Dosen, Pemerhati Pendidikan Holistik dan Komunikasi. Penulis Prolifik. Pemilik Mata Pena School. Penggagas Komunitas Dosen Menulis. Ketua Divisi Neurosains Pendidikan SINTESA. Anggota Asosiasi Penulis dan Editor, Assosiati Penulis Penertbit Pergurian Tinggi,

Selanjutnya

Tutup

Nature

Komposter Gerabah

24 Februari 2021   17:31 Diperbarui: 24 Februari 2021   17:39 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya pagi tadi saya sedang ada ide untuk menulis ini, tapi sayangnya belum sempat saya save dan posting saya tinggalkan sebab ada drama pagi hari. Sebel sih... udah nulis panjang dan buat saya itu berguna untuk mengikat ide... eeh hilang begitu saja. Sementara buat nulis ulang itu butuh fokus lagi, padahal kalau lagi ada ide sepuluh menit juga jadi. Nah, hal-hal begini bagi orang yang hobby nulis nyebelin bangettt. Buat saya nulis itu sebuah ungkapan rasa dan pikiran. Sebagian bilang kenapa gak buat tulisan artikel ilmiah ? kenapa gak buat buku ? eeh, insya allah saya tetap nulis itu, tapi namanya ide ya ndak bisa saya stop toh ?.

Balik ke niat awal saya saja ya, saya mau bahas seputar komposter, khususnya komposter gerabah.

Sejak lama pemerintah telah mencanangkan untuk meminimalkan sampah. Namun rasanya hingga saat ini masalah sampah masih menjadi problem kita semua. Mulai dari problem individu, problem rukun tetangga, problem rukun warga, kelurahan, kecamatan hingga wilayah. Bagaimana mengurai problem ini. Saya tidak akan muluk-muluk sebab menangani sampah itu membutuhkan pendekatan lintas sektoral dan lintas ilmu. Salah satu faktor penyembab sampah adalah faktor kemiskinan, secara ekonomis, ternyata perilaku tidak bersih disebabkan oleh faktor ekonomi. Secara sederhana kita dapat menerima bahwa jangankan memikirkan buang sampah - yang harus bayar pula - apalagi memilah sampah, waktu untuk mencari uang justru lebih penting ketimbang mengurusi sampah. Itu baru satu pemikiran dari sisi ekonomis ya. Belum lagi dari sisi budaya.

Sekarang saya ingin menyampaikan saja, hal praktis apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi masalah sampah ini. Pertama, saya sampaikan bahwa saya sendiri butuh waktu lama untuk mulai peduli dengan urusan sampah ini. Sampah yang akan saya bahas ini adalah sampah dapur yang merupakan sampah paling banyak ditemukan, paling tidak tahan lama, dan paling menimbulkan bau tak sedap. Mengapa saya butuh waktu lama untuk memahami masalah sampah ini pertama dalam benak saya, sampah itu kotor, sampah itu bau, sampah itu menjijikan. Sehingga ketika saya mencari solusi atas tiga masalah yang saya hadapi ini saya mencari solusi bagaimana membuat sampah tidak kotor, tidak bau, dan tidak menjijikkan. Beberapa alat daur ulang sampah banyak diberedar, tapi saya belum menemukan alat daur ulang sampah yang tepat.

Hasil daur ulang sampah dapur itu ada dua jenis. Pertama adalah jenis pupuk cair, kedua jenis pupuk padat. Saya memilih yang hasil akhirnya pupuk padat. Saya kemudian menemukan komposter gerabah yang cantik tampilannya, ramah lingkungan bahannya, dan memang didesain khusus untuk membuat daur ulang sampah dapur.

Nah, saya jadi berpikir jika 100 KK dalam satu wilayah kompleks, mengeluarkan rata-rata 1 kg sampah dapur setiap hari. maka akan ada 100kg sampah dapur setiap hari. Lalu jika sampah itu tidak dikeluarkan dulu tetapi melalu proses daur ulang menjadi pupuk, maka akan dihasilkan kurang lebih 100 kg pupuk yang dapat digunakan di rumah masing-masing untuk membuat tanaman aglonema yang cantik itu menjadi subur. Sehingga problem sampah ini selesai di rumah tangga masing-masing. Petugas sampah tidak kewalahan mengambil sampah, dan bisa fokus pada jenis sampah lainnya.

Mengubah kebiasaan, berarti mengubah mindset. Maka pendekatan yang bisa kita lakukan pada diri sendiri dan lingkungan juga adalah pendekatan mindset. Kita tidak bisa berulang kali menyampaikan " kenapa sih, susah banget buat buang sampah yang bener aja!". Ya, memang susah. Sebab ini membutuhkan pembiasaan dan pengetahuan. Di masa pandemi ini sebenarnya moment yang tepat untuk mulai mencoba kebiasaan baru menggunakan komposter. Selama masa pandemi keluarga semua berkumpul di rumah, hari-hari yang agak longgar adalah waktu yang tepat untuk bereksperimen bersama keluarga terutama anak-anak untuk berlatih menggunakan komposter. Sungguh asik, mencoba berlatih menggunakan komposter gerabah, selain mudah, murah, dan manfaat hasilnya. Rumah pun menjadi lebih bersih, bebas bau, bebas lalat dan bebas tikus.

Yuuk Ngompos Cantik kita ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun