Hari itu, selepas berbelanja kain di pasar Attaba saya dan salah seorang teman baik pergi ke sebuah toko mesin jahit untuk membeli sesuatu. Toko tersebut berada di kawasan downtown. Sebuah kawasan perdagangan yang cukup sibuk di Kairo. Sayangnya kami berdua tak cukup mengenal jalan di kawasan ini. Walaupun sebenarnya saya sudah sekian kali ke tempat ini. Beberapa kali kami harus bertanya pada orang-orang di sepanjang jalan yang kami lewati. Namun tak jua ketemu tempat yang kami tuju.
Untung saja cuaca cukup bersahabat. Walaupun musim panas, tapi angin berhembus sejuk sepoi-sepoi. Jalan kakipun tak terasa melelahkan.
Berjalan kaki menyusuri jalan di downtown ini tak ubahnya seperti berjalan di kota-kota di benua Eropa. Selain kaya dengan arsitektur tua era Mesir kuno, peradaban Islam (Mamluk, Abasiyah, Fatimiyah, Usmani) Kairo juga memiliki tempat dengan gaya arsitektur Eropa abad 19 yang cantik.
Kawasan downtown berada tak jauh dari Attaba dan bundaran Tahrir. Salah satu tempat yang di rancang tata kotanya dengan seksama.
Jalan yang lebar lengkap dengan ruang terbuka dan taman-taman yang indah. Sangat memperhatikan keseimbangan geometris dan harmoni dalam penataannya. Sang arsitek Khedive Ismail memang terinspirasi oleh kota-kota di Eropa. Tak heran, tempat ini terlihat sangat rapi dibandingkan bagian kota lainnya di Kairo. Dijuluki sebagai Paris on The Nile.
Konon, Khedive Ismail Pasha sampai memanggil Baron Housman, arsitek sekaligus ahli tata kota Paris untuk datang ke Kairo dan merancang Paris fi al-Nil ini. ia ingin membuat takjub kekasih hatinya, puteri Prancis Eugenie de Montijo, juga kaisar-kaisar Eropa dengan penjelmaan mini Paris di lembah Nil