Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bolehkah Membisniskan Pendidikan?

22 Januari 2025   07:14 Diperbarui: 22 Januari 2025   07:14 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash


Oleh Amidi

 

Akhir-akhir ini dunia pendidikan terusik dengan adanya kasus plagiat dan yang lebih menyedihkan lagi plagiat tersebut dilakukan dalam rangka memburu jenjang jabatan akademik (JJA) tertinggi.

 

Baru-baru ini plagiat yang menyebabkan Ketua BEM Universitas Indonesia (UI) diberhentikan dari jabatannya secara tidak hormat karena diduga membawakan kajian hasil plagiarisme terhadap kajian yang diberikan BEM UI ke  DPR  pada 17 Oktober 2024 lalu. (kompas.com, 19 Januari 2025).


Begitu juga dengan dugaan kasus rekayasa untuk memperoleh JJA tertinggipada  Universitas Lambung Mangkurat  (ULM). Akibat  dugaan rekayasa syarat-syarat permohonan  guru besar  yang dilakukan  oleh 11 dosen FH UM  dicerminkan  persoalan sistemik dalam proses  pencalonan guru besar, akhirnya semua diperiksa dan  akredetasinya diturunkan. (BBCNEWS INDONESIA,  11 Juli 2024).

Kasus ini ternyata merambah ke berbagai belahan daerah di negeri ini. Seperti salah satu daerah, ada seorang yang sudah resmi memperoleh JJA tertinggi, karena terindikasi plagiat yakni mengambil karya mahasiswanya, sehingga ia diberikan sanksi hukuman untuk mengembalikan tunjangan atas JJA yang telah diraihnya dan dihukum secara administrasi tidak boleh mengajar selama waktu tertentu.

 

Apa yang Mau Dikejar?

Bila disimak, mengapa kasus plagiat ini terus berkembang dan mengapa justru yang melakukannya adalah seorang pencedas bangsa pada Perguruan Tinggi (PT) yang akan memburu JJA tertinggi?

Jawabnya, ada hubungan erat dengan cuan yang akan mereka terima bila mereka sudah dapat mencapai JJA tertinggi tersebut, terlepas dari apakah mereka ingin mengembangkan keilmuannya atau akan meningkatkan "pengabdiannya", yang jelas aspek cuan-cuan-cuan sepertinya kental mewarnai fenomena ini.

Betapa tidak, konon jika kita telah mencaai JJA tertinggi tersebut, kita akan memperoleh konpensasi sebagai tunjangan jabatan tersebut, minimal sebesar tiga (3) kali gaji pokok, luar biasa besar bukan?. Jika gaji pokok kita katakanlah sebesar Rp. 5 juta per bukan, setidaknya kita akan memperoleh tunjangan sebesar Rp. 15 juta tiap bulan, menggoda bukan?

 

Nilai Akademik Terabaikan!

Bila dicermati, fenomena ini sepertinya tidak akan berhenti dan atau terus akan terjadi, bila orientasi kita hanya mengejar cuan-cuan-cuan semata. Cuan memang dibutuhkan dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan ternasuk kebutuhan dalam rangka untuk meningkatkan "eksisitensi diri" kita yang sudah dapat menempuh JJA tertinggi tersebut. Baik kebutuhan dalam rangka untuk membiayai kebutuhan pengembangan ilmu yang akan kita lakukan, seperti peneltiian dan lainnya, dan juga kebutuahan dalam rangka eksisitensi diri dan atau aktualisasi diri.

Seorang yang sudah menyandang gelar "itu" atau memperoleh JJA tertinggi setidaknya performa dan penanpilan harus berbeda, terutama penampilan di mata publik. Tidak mungkin lagi seorang yang sudah bergelar "itu" dan atau telah meraih JJA tertinggi tersebut, harus "naik sepeda kumbang", meminjam lirik lagu iwani fals. Setidaknya sudah harus mengendarai kendaraan roda empat yang sedikit kelihatan "mewah" walaupun tidak bermerek "alphard".

Dengan orientasi demikian, sehingga terkadang nilai akademik dan atau nilai keilmuan yang harus dipertanggung jawabkan sang penyandang gelar atau sang peraih JJA tertinggi tersebut "terabaikan", yang ada nilai bisnis. Terkadang tugas akademik atau tanggung jawab akademik bisa saja ditempatkan pada nomor sekian, yang diutamakan adalah cuan-cuan-cuan.

 

Hubungan JJA dengan Kontribusi!

Bila disimak, dilapangan (maaf) terkdang apa yang diharapkan publik terhadap seorang yang sudah menyandang "gelar itu" atau meraih JJA tertinggi tersebut menjadi "sirna". Publik mengharapkan permasalahan kemsyarakatan, permasalahan sosial, permasalahan lainnya yang mereka hadapi dapat dibantu penyelesaiannya dengan bekal ilmu yang ada pada penyandang "gelar itu" atau peraih JJA tertinggi tersebut, ternyata terkadang jauh panggang dari api.

Dilapangan, tidak sedikit mereka yang sudah meraih "gelar itu" atau peraih JJA tertinggi tersebut, acuh tak acuh, tidak peduli, tidak respek dengan permasalahan yang timbul dimasyarakat atau publik. Biarkan permasalahan tersebut berlalu, "anjing menggonggong kapilah berlalu". Apalagi kalau ada resiko atas kepedulian yang dilakukannya!

Bila disimak, terkadang ada hal yang menyedihkan lagi, bila mereka yang sudah meraih "gekar itu" atau peraih JJA tertinggi tersebut, berorintasi untuk mengejar jabatan pada PT tempat mereka bekerja, suatu fenomena yang bukan suatu barang baru. Fenomena yang akan mewarnai belantika dunia pendikan terutama PT.

Memang bisa dimaklumi, mengapa fenomena ini marak? Karena kita sering terjebak dengan persyaratan adminsitrasi "sedikit kaku" . Misalnya, untuk menduduki jabatan ini dan itu, seorang harus memenuhi syarat telah mencapai gelar "D", maaf, kita sudah tidak lagi mengedepankan "profesionalitas", kita sudah tidak lagi memunculkan pertanyaan "you bisa apa". Artinya walaupun you tida bisa apa-apa, asal you sudah menyandang gelar "D", maka you bisa saja diangkat atau ditempatkan pada jabatan ini dan itu.  

 

Nilai Akademik harus Dikedepankan.

Dalam rangka menjunjung tinggi etika akademik dan dalam rangka mempertahankan eksistensi PT di negeri ini, maka nilai akademik atau pengetahuan mumpuni tetap harus dikedepankan.

Artinya, bisa saja seorang yang belum menyandang gelar "D", tetapi ia mempunyai kepampuna akademik dan atau menjunjung tinggi nilai akademik, ia bisa ditempatkan pada suatu jabatan tertentu atau bisa saja ia dipercayakan untuk mengerjakan/ditugasi untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang idealnya  mempersyaratkan seorang tersebut harus bergelar "D" tersrbut.

Sebagai informasi saja, pengalaman seroang penulis yang belum meraih dan atau belum berkesempatan meraih gelar "D", sebelum gelar "D" mewarnai belantika dunia PT di negeri ini, ia diminta memberikan seminar disana sini, ia diminta memerikan advis di sana sini, ia di minta untuk mengerjakan ini dan itu pada suatu instansi pemerintah dan swasta, namun, setelah sudah banyak insan akademik atau insan PT yang sudah bergelar "D", maka ia mulai tersisihkan, memberi seminar pun sudah jarang, karena mereka yang meminta sebagai pemateri mengutamakan mereka yang sudah bergelar "D" tersebut.

Hanya saja, ia masih bisa memberikan seminat di sana di sini atas permintaannya institusi tenpat ia sebagai tenaga ahli. Sehingga, pihak institusi sering menugaskannya karena ia dipandang mampu mewakili isntusi tersebut.

Padahal dari sisi keilmuan, ia sudah mumpuni, bahkan mungkin tidak kalah dengan mereka sudah memperoleh gelar "D" tersebut. Bahkan ada suatu peristiwa di hadapan audien, mereka yang belum memperoleh atau belum berkesempatan memperoleh gelar "D" tersebut, justru lebih "heboh" digelanggang atau di arena publik. Maaf ini hanya suatu pernyataan pengalanman lapangan saja!, walupun tidak berlaku secara umum.

 

Bagaimana Sebaiknya?

Kita sepakat bila gelar akademik itu tetap dibutuhkan dalam dunia PT, kita tidka bisa menafikan kalau gelar akademik tertinggi itu penting, namun, ada suatu pertimbangan yang bisa kita "timbang-timbang" dalam fenomena ini.

Memang tidak mungkin mereka yang menyandang gelar akademik "sarjana" tok mengajar atau memberi kuliah kepada mahasiswa program "pasca sarjana". Dengan kata lain, secara sederhana dapat dikatakan, tidak mungkin seorang pencerdas bangsa yang bergelar S1 akan memberi kuliah atau mengajar pada program S1, setidaknya atau minimal harus setingkat lebih lebih tinggi gelar akademiknya, yakni minimal S2, begitulah seterusnya.

Maksud saya, untuk lingkungan akademik atau lingkingan PT memang ini mutlak, namun untuk non lingkungan akademik atau non PT, setidaknya gelar tidak menjadi prioritas, setidaknya mereka mempelajari keahlian, kepiawaian seseorang.

Katakanlah, seorang praktisi, ia hanya menyandang gelar S2, tetapi karena ia piawai dan atau ahli dibidangnya, mengapa tidak kita orientasikan untuk memberikan suatu pencerahan atau memberikan materi dalam suatu seminar atau pertemuan ilmiah lainnya.

Sayang, keilmuan dan keahlian mereka bila kita tidak manfaatkan. Sebagai pengalamam saya, dalam memberikan advis atau penilaian kelayakan suatu bisnis yang akan  berdiri  dan atau suatu unit bisnis yang akan dikembangkan, saya menilai pemilik atau pelaku bisnisnya kebayakan mereka yang hanya tamatan  SMA, paling tinggi menamatkan S1, tetapi ilmu bisnis dan atau ilmu manajemen yang mereka miliki luar biasa.

Mereka dapat me-menej atau memimpin ribuan pekerjanya, termasuk pekerjanya yang berlatar  belakang atau bergelar "D" tersebut,  maaf ini hanya ilustri, mungkin saja tidak umum, silakan saja Anda memberikan penilan tersendiri atas pernyataan ini.

Suatu keadaan ildeal, memang sangat diperlukan. Gelar dalam dunia akademik atau PT memang sangat dibutuhkan sekali, namun jangan "mendewakan" gelar, tetapi gelar yang kita sandang harus diikuti dengan keahlian dan atau ke-profesional-an.

Timbulnya fenomena ini, menggiring dunia pendidikan dibisniskan pemilik atau pengelolanya. Padahal, tidaklah demikian!

Gelar jangan dijadikan ajang bisnis, dunia pendidikan atau PT tetaplah kita tempatkan sebagai ajang pengembangan ilmu dan tempat memproduksi keilmuan, sekalipun ia tempat memproduksi gelar, namun harus didudukkan sebagai lembaga akademik jangan dijadikan dia ajang bisnis. Kalau ada unsur bisnisnya, hanya untuk mempertahankan keberlangsunagn dunai akademika atau PT itu saja. Dengan kata lain, kita tidak boleh membisniskan dunia pendidikan, namun harus dibalik yakni mengelola dunia pendidikan harus didasari dengan nilai bisnis itu syah-syah saja. Selamat berjuang!!!!!!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun