Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Antara Kepentingan Investasi, Menghindari PHK dan Tuntutan UMP

23 Desember 2024   05:21 Diperbarui: 23 Desember 2024   05:21 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Amidi

 

Investasi memegang peranan penting dalam perekonomian, dengan kata lain para penanam modal (investor) memang sangat dibutuhkan, karena dengan semakin besarnya investasi yang masuk, semakin semarak kegiatan ekonomi, semakin banyak menyerap tenaga kerja, dan semakin mempercepat laju perekonomian ekonomi.


Alih-alih adanya alasan tenaga kerja mahal, yang tercermin dari upah minimum dirasakan tinggi, tidak jarang para investor "mengurungkan/membatalkan" niatnya untuk menginvestasikan dana-nya. Sehingga, tidak heran, jika tidak sedikit pelaku bisnis yang melakukan bisnis skala besarnya terkonsentrasi di Pulau Jawa, karena upah minimum disana relatif  lebih murah.


Cnbc Indonesia.com, 04 Desember 2024, memberitakan bahwa Menteri Ketenagakerjaan Yassierli telah resmi mengeluarkan  Peraturan Menteri  Ketenagakerjaan Nomor 16 tahun 2024 tentang Penetapan  Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota  (UMK) tahun 2025 naik sebesar 6,5 persen.

UMP dan PHK.

UMP/UMK  sebagai amanah Undang-undang tersebut, idealnya memang harus direalisasikan atau dijalankan oleh pelaku bisnis atau pemberi kerja. Namun, dilapangan tidak sedikit pelaku bisnis atau pemberi kerja yang belum dan atau tidak menjalankan ketentuan upah minimum tersebut. Mengapa?

Jika dipaksakan pelaku bisnis atau pemberi kerja "harus" menjalankan ketentuan upah minimum tersebut, terlebih kepada pelaku bisnis atau pemberi kerja yang kondisi unit bisnis-nya atau kondisi kantor-nya maish "terseok-seok", maka mereka akan "keder" bahkan bukan tidak mungkin mereka mengambil jalan pintas, "menutup unit bisnis-nya", maka yang akan terjadi adalah PHK.

Seandainya, di pihak pekerja bersikeras agar tempat mereka bekerja menerapkan atau menjalankan ketentuan upah minimum tersebut, entah dengan jalan "menyuarakan aspirasi-demo" atau bentuk lainnya, maka operasional mereka akan terganggu, dengan demikian akan mempengaruhi kinerja.

Jika pemerintah juga "bersikeras" agar pelaku bisnis atau pemberi kerja "harus" menjalankan ketentuan upah minimum tersebut, maka pelaku bisnis atau pemberi kerja pun tidak berdaya, paling-paling mereka pada suatu saat "meng-ya-kan", namun pada kenyataannya upah minimum tak kunjung datang atau tidak direalisasikan.

Disini kelihatannya, pekerja berada pada posisi "lemah", inilah kenyataan yang ada. Pekerja harus mengahapi kondisi ketenagkerjaan saat ini, yang mana setiap tahun jumlah pencari kerja yang tercermin dari angkatan kerja yang menganggur terus bertambah.

Sekolah dan atau Perguruan Tinggi (PT)  setiap tahun memproduksi tamatannya atau sarjana, bahkan ada PT yang mewisuda tamatannya empat kali setahun, luar biasa bukan?.

Jika dalam satu Provinsi terdapat 10 PT saja, dan diasumsikan satu PT memproduksi tamatan 500 orang setiap kali wisuda, maka akan ada tamatan PT sebanyak 20.000 orang sarjana. Jumlah ini akan menambah jumlah pencari kerja dan atau akan menambah jumlah pengangguran.

Apalagi jika, ditilik dari serapan tenaga kerja di pasar tenaga kerja yang relatif kecil, maka jelas setiap tahun akan ada tambahan pengangguran dan pertabahan ini akan berakumalasi terus, sehingga akan membentuk gunung es.

Dengan adanya kondisi yang demikian, maka tidak heran, jika pelaku bisnis atau pemberi kerja "seanknya" melakukan PHK terhadap pekerjanya. Apalagi, jika pekerja-nya "berulah", pekerjanya menuntut UMP, pekerjanya terus menciptakan kondisi yang tidak kondusif.

 

Faktor Penyebab.

Bila disimak, banyak faktor yang menyebabkan pelaku bisnis atau pemberi kerja berkeberatan merealisasikan ketentuan upah minimum tersebut, dengan kata lain mudah melakukan PHK tersebut atau akan colaps tersebut.

Pelaku bisnis atau pemberi kerja, atas pengakuannya  (jika mereka jujur), kondisi  bisnis mereka masih "terseok-seok", karena mereka masih menghadapi kondisi ekonomi sulit, adanya permintaan yang terus turun yang menyebabkan daya beli turun, dan mereka pun masih juga harus menanggung "beban" yang tidak kecil ditambah lagi ada kebijakan yang akan membuat unit bisnis mereka "goyang", misalnya adanya kenaikan PPN 12 persen atau adanya  pungutan ini  dan itu, belum lagi biaya illegal atau  biaya siluman lainnya.

Belum lagi, saat ini pendatang baru berbondong-bondong masuk pasar, sehingga persaingan yang timbul sangat ketat sekali. Persaingan antara pelaku bisnis skala besar, persaingan pelaku bisnis skala besar dengan skala kecil dan persaingan bisnis antar skala kecil dengan skala kecil.

 

Bagaimana Sebaiknya?

Bila dicemati, memang "buah simalaka" ini terkadang tidak bisa tidak harus "dimakan", walaupun akan ada konsekwensinya. Inilah dinamika yang ada, inilah fakta yang ada.

Agar pelaku bisnis atau pemberi kerja dapat bertahan, agar investasi tetap bisa masuk dan terus meningkat serta agar tidak terjadi PHK, maka harus ada jalan tengah atau harus ada kebijakan yang proporsional atau harus ada langkah "penyelamatan".

Setidaknya, di pihak pelaku bisnis atau pemberi kerja harus jujur, jika memang kondisi keuangan belum memungkinkan untuk membayar konpensasi pekerja sesuai dengan ketentuan upah minimum tersebut, maka bicarlah dengan pekerja apa adanya, saya yakin pekerja akan memahami kondisi kita, yakinlah pekerja merupakan bagian integral kemajuan suatu bisnis.

Jika memang pelaku bisnis atau pemberi kerja memang sudah maju dan mapan, mengapa tidak membayar kompensasi pekerja susuai ketentuan upah minimum tersebut bahkan kalau bisa lebih sesuai dengan kinerja dan atau produktivitas yang pekerja hasilkan.

Kasihan pekerja terkadang dalam menajalankan pekerjaannya harus "berdiri" dari pagi sampai sore hanya dibayar dengan besaran di bawah Rp, 2 juta, Kasihan pencerdas bangsa yang sudah berupaya mencerdaskan bangsa, masih ada yang dibayar "ala kadarnya". Kasihan pemikir, yang memberi kontribusi kepada negeri ini dibayar jauh lebih rendah dibandingkan dengan "rekan kita yang terhormat itu"

 

Pengalaman saya pernah menjadi nara sumber pada NGO yang memperoleh pendanaan dari Jepang untuk mencerdaskan suatu kelompok "SDM" negeri ini, saya dibayar dengan stadar yang luar biasa "gede"-nya.

Dipihak pekerja, jika memang tempat kita bekerja kondisi keuangannya memang belum memungkinkan untuk membayar sesuai dengan ketentuan upah minimum, maka kita harus menerima dengan lapang dada sembari terus berjuang dan bekerja keras serta berdoa agar tempat kita bekerja akan mengalami kemajuan dan perkembangan.

Dipihak pemerintah, tetaplah membuat berbagai regulasi termasuk Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana agar kebijakan atau regulasi yang kita buat tersebut tidak membebani pemberi kerja, tidak merugikan pekerja dan tidak mengganggu kondisi ekonomi, dengan kata lain harus proporsional.


Kemudian pengawasan tetap harus dilakukan, pengawasan harus dilakukan secara rutin dan berkala. Selain pengawasan, kita pun perlu melakukan pembinaan kepada pemberi kerja. Singkat kata, pemerintah harus menciptakan suatu kondisi yang harmonis antara pelaku bisnis atau pemberi kerja selaku pihak yang menanamkan dana (investasi), dengan dmasyarkat selaku pekerja dan masyarakat selaku konsumen. Selamat berjuang!!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun