Bila disimak, mengapa ritel modern dan atau termasuk unit bisnis perbelanjaan lain  terus bergurusan, banyak faktor yang menyebabkannnya. Tutup-nya Alfamart sebenarnya biasa saja, bila ditilik dari tutupnya gerai ritel modern lainnya, namun tutupnya Alfamart sepertinya merupakan suatu fenomena baru dibelantika gerai rotel modern yang satu ini, yang sedang gencar-gencarnya melakukan penambahan gerai atau toko mereka.
Sebagai pelaku bisnis yang sudah mapan dan berpengalaman, sebenarnya mereka sudah bisa mengetahui dan memprediksi kondisi ekonomi kini dan ke depan. Mereka setidaknya sudah memahami kondisi ekonomi negeri ini saat ini yang mengalami degradasi, ekonomi sedang sulit, daya beli berangsur turun, karena konsumen kelas menengah berada pada kondisi "makan tabungan".
Namun, ditengah bayang-bayang kondisi ekonomi demikian, sepertinya pemilik tetap saja menambah gerai atau toko-nya, bahkan mereka tetap melakuan pengembangan ritel modern mereka.
Tidak heran, jika di sudut-sudut kota, dan di desa-desa bahkan di plosok-plosok terdapat gerai mereka. Ada idiom, dikalangan anak muda, "jangan ada tanah kosong, nanti akan tumbuh gerai/toko ritel modern atau gerai/toko kuliner atau gerai/toko es cream", atau gerai/toko makanan ringan, maaf sepertinya kalangan anak mudah itu  hanya mau mengindikasikan  bahwa betapa peluang bisnis yang akan mereka rebut tersebut  tidak boleh dilewatkan.
Toh, tiba-tiba ada berita suatu gerai ritel modern yang sedang gencar menambah gerai atau tokoknya justru menutup gerai atau toko yang sudah banyak berdiri tersebut. Mengapa?
Memang, Â jika kita mau menarik alasan dari sisi pendekatan kondisi ekonomi bahwa saat ini dikalangan kelas menengah dan bawah sedang dihadapkan pada kondisi ekonomi sulit. Permintaan masyarakat terus turun yang menyebabkan daya beli turun, berdampak pada turunnya omzet mereka dan pada akhirnya akan mempengaruhi penghasilan alias keuntungan yang mereka peroleh.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan  Indonesia (Hippindo), Alphonzus Widjaja  mengakui bahwa  gerai ritel modern di Indonesia tidak mendapatkan keuntungan yang optimal. (Kompas.com, 17 Desember 2024)
Sebenarnya, bila mereka hanya mempedomi adanya penurunan daya beli tersebut, mereka tidak perlu terus memperbanyak gerai atau toko atau dengan kata lain, setelah hampir semua sudut kota sudah ada gerai ritel modern mereka, mungkin "sudah harus stop" menambah gerai,  tapi toh, gerai  tersebut terus berdiri dan  bertambah bahkan berdiri berdampingan dengan gerai ritel modern yang sejenis.
Tutupnya Alfamart sebanyak 400 gerai atau toko tersebut suatu angka yang tidak sedikit, dampaknya pun demikian. Akan ada pengangguran yang tidak sedikit, akan ada kerugian pemilik tempat/toko yang mereka sewa, akan ada unit bisnis yang mengikuti disamping atau disekitar gerai atau toko mereka yang juga akan kena imbasnya, aka ada faktor lain-nya yang akan menyebabkan kerugian lainnya.
Memang dari sisi pelaku bisnis yang melakoni bisnis skala kecil, sperti warung rakyat diuntungkan dengan tutupnya Alfamart tersebut, setidaknya pangsa pasar Alfamart yang tutup tersebut "terpaksa" akan beralih menjadi pangsa pasar warung rakyatl yang ada di sudut-sudut kota.
Namun, dalam hal ini, sebanrnya kita tidak ingin suatu unit bisnis yang tutup akan menguntungkan atau merugikan  unit bisnis yang lain. Namun, kita menginginkan suatu unit bisnis yang ada di negeri ini baik skala besar maupun skala kecil harus hidup berdampingan dan saling bermesraan.