Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Partisipasi Pemilih Turun, Faktor Ekonomi atau Kejenuhankah Pendorongnya?

14 Desember 2024   07:04 Diperbarui: 14 Desember 2024   07:04 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehingga, yang dapat dipastikan akan memilih adalah anak negeri ini selaku pendukung, selaku tim sukses, selaku partisipan calon yang sedang bertarung, anak negeri ini selaku pemilih yang tidak terlibat, akan menentukan "sikap" masing-masing.

Memang tidak memilih atau golongan putih (golput) itu dilarang, apalagi bila ada ajakan  untuk golput,  jelas melanggar Undang-undang.  Memang hak politik (political rights) adalah hak semua warga negara, hak memilih dan dipilih adalah hak semua warga negara asal sudah memenuhi syarat yang sudah ditentukan.

Saya kurang paham dari sisi hukumnya. Namun, dilapangan kita masih menemukan pemilih tidak menggunakan hal pilihnya, pemilih yang menggunakan hak pilihnya, namun hak pilih itu tidak syah, karena mereka tidak mencoblos gambar calon hanya memasukkan kertas suara ke dalam kotak suara, mereka mencoblos sembarangan (entah sengaja atau tidak), dan kasus lainnya yang menyebabkan kertas suara tersebut tidak syah.

Bila disimak, baik secara langsung atau tidak langusng, dilapangan ternyata faktor ekonomi masih mempengaruhi pemilih untuk memilih atau tidak memilih, untuk memilih dengan syah atau memilih asal-asalan. Bila dicermati faktor ekonomi memang mendorong anak negeri ini "untuk gembira atau tidak", "untuk berparisipasi atau tidak". Secara sederhana, bila anak negeri ini secara ekonomi sudah dapat memenuhi kebutuhan yang wajar dan dari sisi keuangan memungkinkan mereka "bebas menggunakan/mengorganisir pikirannya", maka soal pilih-memilih mungkin mereka pikirkan, namun sebaliknya.

Kemudian, disinyalir pula ada aspek  "kejenuhan". Pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, karena mereka sudah jenuh denga kondisi yang mereka hadapi, mereka sudah jenuh dengan "belantikan pemilihan", mereka sudah jenuh dengan tidak terwujudnya "harapan" mereka pada calon terpilih.

Liputan 6 com,  11 Desember 2024,  memberitakan bahwa, menurut pakar  ada kejenuhan usai Pilpres. Peneliti Kebijakan Ppublik dan Institute for Development of Policy and Local Patnerships (IDP-LP) Riko Voviantoro menilai rendahnya angka partisipasi  pada Pilkada 2024 karena ada kejenuhan politik.

Bila disimak,  memang  terkdang ada idiom dikalangan mereka, memilih atau tidak memilih sama saja. Nah, jika sudah pada tahap anggapan demikian, maka kita perlu mengantisipasi kondisi ini ke depan, agar partisipasi pemilih tidak cendrung turun.

 

Beberapa Catatan.


Berdasarkan hal di atas, maka kita  terlebih pihak yang berwenang, perlu melakukan intropeksi, perlu mengevaluasi, dan para calon terpilih harus bertanya kepada diri sendiri, sudah berapa banyak produk atau program yang ditawarkan atau yang dijual pada saat kampanye atau mempromosikan diri tersebut sudah terealisasi. Jika belum, dan masih ada waktu tersisa, maka secepatnya merealisasikan program tersebut.

Jika ada program priotitas, apakah program tersebut sudah berjalan dengan baik atau hanya sekedar atau asal merealiasasikannya saja. Sebagai contoh, sebelumnya tidak sedikit calon terpilih yang menjual program prioritas "sekolah gratis dan berobat gratis", namun dilapangan "gratis" nya hanya tertentu saja tidak semua "gratis". Nah, hal demikian,  mungkin salah satu yang menyebabkan pemilih kecewa dan mempengaruhi keinginannya untuk memilih atau tidak pada periode berikutnya.

Kemudian, pembangunan yang diharapkan menyentuh semua lapisan anak negeri ini terkadang tak kunjung tiba, yang ada hanya pembangunan sektoral dan lebih hanya untuk kemanfaatan pihak tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun