Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kegairahan Pemilih Dilatari Kondisi Ekonomi Sedang Sulit Kah?

29 November 2024   06:01 Diperbarui: 29 November 2024   06:20 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh Amidi

 Berdasarkan kebiasaan setiap akan tibanya hari H dan atau sehari menjelang hari H, pemilih tidak jarang menanti-nanti akan adanya "siraman" dari  calon atau tim calon, baik calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, dan Bupati dan Wakil bupati.

Istilah halus-nya "siraman" sedangkan istilah umumnya, bagi-bagi amplop alias money politic . Disinyalir "siraman" tersebut tidak tanggung-tanggung, terlebih "siraman" yang akan dilakukan calon kepala daerah di tingkat kabupaten.  Ada indikasi tim mereka melakukan atau memberikan "siraman" sampai pada anggka yang "lumayan" besar.

Terlepas indikasi tersebut benar atau tidak atau dapat dibutkikan atau tidak, yang jelas fenomena "siraman" tersebut sepertinya memang ada dan sulit untuk dibuktikan. Paling dari sekian ribu pelalu, hanya ada satu-dua saja yang bisa dibuktikan,  karena ada yang mengangkatnya atau karena ada bukti "tertangkap tangan".  Konon yang melakukan "siraman" tersebut tidak tanggung-tanggung yakni oknum aparat pemerintahan, walau pun oknum aparat  pada tingkat yang terendah.

Hal ini dibuktikan sendiri oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum  (BAWASLU)  yang menemukan sejumlah pelanggaran dalam pelaksanaan pilkada  serentak 2024 yang berlangsung 27 November 2024 yang didominasi laporan politik uang. ( Kompastv, 28 November 2024).

Adanya oknum aparat yang melakukan pelanggaran. Seperti  yang disinyalir oleh media bahwa ada dugaan pelanggaran pilkada  oleh oknum Kades di Kecamatan Empang (lihat tvOnemews.com, 26 November 2024). Kemduian ada berita tentang  empat  orang warga Kecamatan Rejoso diamankan karena  ketahuan bagi-bagi amplop isi Rp. 20 ribu (lihat tibunjatim.com,  27 November 2024).

Dari berita atau informasi tersebut, ternyata "siraman" tersebut memang benar adanya,  walaupun hanya  dilakukan  oleh oknum-oknum tertentu. Walaupun oknum tertentu yang melakukannya tersebut, berarti  "siraman" berarti memang ada yang melakukannya.

Memanfaatkan Kesempatan.

Bila disimak, bahwa oknum pemilih yang menerima "siraman" tersebut, biasanya mereka tidak perlu banyak pertimbangan, termasuk pertimbangan apakah "siraman" tersebut baik  atau tidak atau haram atau tidak. Apalagi bila akan mempertimbangkan, jika salah dalam memilih akan memberi dampak buruk bagi perkembangan daerah yang akan dipimpin  yang terpilih. Apalagi bila akan mempertimbangakan, jika salah memilih, akan menanggung penderitaan minimal liam (5) tahun ke depan. Semua pertimbangan-pertimbangan itu akan sirna, yang penting ambil saja "siraman" yang diberikan  oleh calon atau tim calon tersebut.

Bahkan tidak jarang ada oknum pemilih yang  beranggapan, ambil saja "siraman" yang diberikan  tersebut, kapan lagi, ini kesempatan emas yang akan kita peroleh dalam lima (5) tahun sekali. Sehingga, "siraman" itu mereka anggap suatu kesempatan yang harus dimanfaatkan atau tidak boleh  dilewatkan.

Padahal, bila ditimbang-timbang, "siraman" tersebut nilai-nya jauh lebih kecil dan jauh lebih hina dari nilai/harga diri diri kita. Katakanlah "siraman" itu nilainya tembus pada angka "satu batang" per pemilih,  tetap  tidak sebanding dengan nilai dan harga diri dan tidak sebanding dengan dampak buruk yang akan kita terima ke depannya. Idealnya, jika kita tidak terpengaruh dengan "siraman", kita akan memilih calon pimpinan yang lebih baik, namun  akibat terpengaruh "siraman" kita akan salah memilih.

Kemudian ada oknum pemilih pun yang beranggapan bahwa tidak mengapa memgambil "siraman" yang diberikan oleh calon dan atau tim calon,  yang penting ambil saja "siraman" tersebut, soal memilih urusan nanti. Itu idieom yang sering muncul dikalangan oknum pemilih.

Namun, fakta menunjukkan bahwa dilapangan sering terjadi atau timbul rasa tidak enak atau rasa berhutang budi, karena calon atau tim calon sudah  memberikan "siraman", maka calon tersebut biasanya yang dipilih oleh oknum pemilih yang menerima "siraman" tersebut.

Dalam ilmu ekonomi sederhananya, jika ada pihak (baca : calon/penjual) yang akan memberi "siraman", maka akan ada pihak (baca : pemilih/konsumen) yang menerima "siraman atau akan meminta dan atau mengharapkan "siraman" tersebut. Tidak heran, jika ada istilah "serangan pajar", karena "siraman" tersebutu akan "disiramkan" pada waktu mendekati detik-detik hari H atau menjelang pajar hari H.

Dengan demikian,  jika tidak ada salah satu pihak yang tidak menghendaki, maka tidak akan terjadi. Jika tidak ada pihak yang akan memberikan "siraman", maka tidak akan ada pihak  yang akan menerima atau mengharapkan "siraman" tersebut. Sebaliknya, jika tidak ada yang meminta atau mengharapkan "siraman", maka tidak akan  ada yang  memberikan "siraman".

Singkatnya kegiatan "siram-menyiram" tersebut tidak akan terjadi, yang ada pilkada bebas, rahasia, jujur, dan damai serta demokrasi dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.

Ekonomi Sulit Ikut Mendorong?

Bila disimak, kondisi  ekonomi yang sedang dihadapi sebagian besar kelas  menengah bawah saat ini,  maka tidak sedikit  kelas  menengah bawah yang sudah makan tabungan bahkan menunda konsumsi bahkan menahan konsumsi, karena kesulitan ekonomi. Faktor ini juga merupakan pertimbangan oknum pemilih senang dan memang mengaharapkan betul "siraman" yang akan diberikan oleh calon dan tim calon pada saat menjelang hari H pilkada tersebut.

Dengan mereka  dihadapkan kondisi kesulitan ekonomi tersebut, maka, wajar, kalau mereka berharap betul dengan "siraman" yang akan diberikan oleh calon atau tim calon, walaupun angkanya tidak seberapa, walaupun hanya uang recehan, walaupun harus menggadaikan harga diri sekalipun.

Namun, walaupun demikian, kita pun dihadapkan pada fenomena penurunan partisipasi pemilih. Dengan menyaksikan kondisi yang ada dan pemilih mempertimbangkan harapannya sering pupus atas apa yang diinginkannya kepada calon terpilih sebelumnya, sehingga tidak heran tidak sedikit pemilih yang tidak memilih, sehingga angka partisipasi pemilih atau minat pemilih untuk memilih turun drastis.

Lembaga  survei Charta Politika mencatat penurunan partisipasi pemilih di berbagai daerah pada Pilkada  2024, mereka mencatat pemilih   di Jakarta turun drasits,  pada Pilkada 2024 ini  pemilih jakarta hanya 58 persen, sementara  pada Pilkada DKI pada tahun 2017  lalu berada di atas angka 70 persen (detiknews.com, 27 Nobember 2024)

Bagaimaan Sebaiknya?

Bila dicermati, beberapa tahun terakhir ini, sepertinya setiap ada pemilihan umum, apakah pemilihan ditingkat petinggi negeri ini, maupun pemilihan diitngkat petinggi daerah ini,  tidak jarang menyisahkan masalah atau menimbulkan masalah. Ada sidang sengketa pemiluh-lah, ada pemilihan ulang-lah, ada kasus ini dan kasus itu-lah dan seterusnya.

Kedepan, perlu ditinjau ulang, bagaimana pelaksanaan pemilu sebaikya? Apakah tidak sebaiknya sistem dan atau pelaksaan pemilu dikembalikan dengan sistem pemilihan yang diwakilkan oleh anggota legeslatif saja, seperti yang sudah berlangsung terdahulu.

Jika sistem ini, setelah dipertimbangkan dampak negatifnya lebih kecil dibandingkan dengan sistem yang berlangsaung saat ini, mengapa tidak sistemnya dirubah seperti yang lalu saja.

Kemudian para rekan kita yang terhormat yang akan  menggodok dan atau merevisi undang-undang pemilu mulai-lah menimbang-nimbang undang-undang pemilu yang lebih cocok dengan kondisi yang ada, sehingga senantiasa akan  mendatangkan  kebaikan bagi negeri ini dan anak negeri ini. Selamat berjuang!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun